Jumat 23 Dec 2022 14:58 WIB

137 Ribu Orang di Industri Start-up Kena PHK Tahun Ini

Secara global, pemecatan paling banyak terjadi pada November 2022.

Rep: Noer Qomariah Kusumawardhani/Setyanavidita Livikacansera/ Red: Dwi Murdaningsih
Ilustrasi Startup
Foto: Pixabay
Ilustrasi Startup

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Industri start-up dunia saat ini sedang tidak baik-baik saja. Menurut data dari Layoffs.fyi, sejak awal tahun sampai 23 November 2022 sudah ada 850 usaha rintisan dan perusahaan teknologi mapan di seluruh dunia yang melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Jumlah total karyawan yang dipecat mencapai 137 ribu orang.

Secara global, pemecatan paling banyak terjadi pada November 2022 dengan korban PHK sekitar 45 ribu orang. Angka tersebut mencakup PHK karyawan Meta, Amazon, Twitter, GoTo, serta Sirclo.

Baca Juga

Pada November 2022, perusahaan induk Facebook, Instagram, dan WhatsApp, yaitu Meta, telah melakukan PHK terhadap 11 ribu karyawan. Di bulan yang sama, Amazon memecat 10 ribu karyawan, Twitter 3.700 karyawan, dan GoTo 1,3 ribu karyawan.

Di Indonesia saja, beberapa nama besar di dunia teknologi juga melakukan langkah serupa. Di antaranya, GoTo yang merumahkan 12 persen atau sebanyak 1.300 karyawannya, Koinworks yang merumahkan 70 karyawan, Zenius 200 karyawan, dan LinkAja yang merumahkan 33 persen atau sekitar 200 orang karyawan.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, salah satu penyebab usaha rintisan beramai-ramai melakukan PHK karena mereka terindikasi mengalami Overstaffing atau melakukan rekrutmen secara besar-besaran. Hal itu, disebut Bhima, karena kesalahan membaca pola konsumsi masyarakat yang ternyata berubah sangat dinamis.

Contohnya, pada waktu pandemi, masyarakat membeli barangnya secara daring. Begitu pula dengan pengantaran makanan dan pendidikan yang juga dilakukan secara daring. Namun, ternyata, perilaku masyarakat ini pascapandemi tidak sesuai ekspektasi dari para usaha rintisan. Hal itu kemudian mengakibatkan penurunan omzet yang cukup tajam.

"Bahkan ketika pendidikan misalnya kembali lagi secara tatap muka, pendapatan dari belajar secara daring itu menurun drastis. Kemudian, staf yang sebagian besar direkrut pada saat pandemi terpaksa harus dikurangi agar bisnis bisa berjalan," ujar Bhima saat dihubungi Republika, beberapa waktu lalu.

Kemudian, ada lagi di financial technology (fintech), lanjut Bhima, yang kejadian spesifiknya karena para rintisan ini tidak mengantisipasi perubahan regulasi. Contohnya, di fintech peer to peer lending (P2P) ternyata regulasi modal minimum untuk fintech semakin ketat.

Selanjutnya Bhima mengungkapkan, ada juga non-performing loan (NPL) fintech yang melonjak di tingkat P2P. "Nah, kemudian di fintech payment atau sistem pembayaran, ternyata dengan munculnya standardisasi QRIS, orang ternyata menggunakan mobile banking, tidak menggunakan e-wallet lagi," katanya. Dengan adanya perubahan regulasi yang sangat sensitif terhadap industri, terutama di jasa keuangan digital, omzet mereka pun tertekan.

Dia melanjutkan, sebagian besar para usaha rintisan di Indonesia tersebut mendapatkan pendanaan dari investor luar negeri atau modal venturanya berasal dari luar negeri. Sementara itu, kondisi ekonomi, inflasi, naiknya suku bunga, ancaman resesi, membuat beberapa pendanaan asing lebih hati-hati, termasuk dalam hal mencari rintisan yang lebih tinggi profitabilitasnya, daripada hanya mengejar valuasi.

"Jadi, ada game changer juga dari sisi permintaan investor yang kini makin selektif dalam memilih model bisnis rintisan di Indonesia. Salah satu sebabnya karena ada kesulitan pendanaan," ujar Bhima.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement