Senin 24 Oct 2022 23:25 WIB

Ekonom Usul Skema Power Wheeling Dihapus dari RUU EBT

Skema ini dinilai berpotensi merugikan negara.

Rep: Intan Pratiwi/ Red: Satria K Yudha
Seorang bocah berjalan di dekat kawasan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Tolo di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan, Sabtu (23/7/2022). PT PLN (Persero) menargetkan penambahan kapasitas pembangkit listrik sebesar 40 gigawatt hingga tahun 2030 dengan 50 persen diantaranya atau sebesar 20 gigawatt merupakan pembangkit Energi Baru Terbarukan (EBT).
Foto: ANTARA/Arnas Padda
Seorang bocah berjalan di dekat kawasan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Tolo di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan, Sabtu (23/7/2022). PT PLN (Persero) menargetkan penambahan kapasitas pembangkit listrik sebesar 40 gigawatt hingga tahun 2030 dengan 50 persen diantaranya atau sebesar 20 gigawatt merupakan pembangkit Energi Baru Terbarukan (EBT).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah dan DPR mengebut rampungnya Rancangan Undang Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT) sebelum KTT G20 dihelat pada November mendatang. Ekonom menyarankan, salah satu klausul dalam RUU EBT, yaitu terkait skema power wheeling, agar dihapus karena dinilai berpotensi merugikan negara. 

Skema  power wheeling merupakan pemanfaatan bersama jaringan tenaga listrik. Pakar Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi menilai, jika klausul tersebut diloloskan, maka sejatinya melanggar UU Kelistrikan dan juga putusan Mahkamah Konstitusi terkait 

bundling unbundling

 

“Di sisi lain, UUD 1945 itu mengamanatkan, kekayaan negara harus dimanfaatkan sebesar besarnya untuk masyarakat. Aset pemerintah berupa transmisi dan jaringan distribusi sejatinya tidak bisa dikomersialisasikan,” kata Fahmi, Senin (24/10/2022).

 

Menurut Fahmi, klausul tersebut juga berpotensi merugikan negara. Sebab, dengan skema open source yang mana aset transmisi dan distribusi bisa dimanfaatkan secara terbuka, maka akan mempengaruhi Harga Pokok Produksi (HPP).

 

“Para swasta bisa menyewa aset tersebut dengan harga yang murah yang nantinya akan mempengaruhi HPP, padahal PLN menjual listrik di bawah HPP saat ini yang dimana di dalamnya diberikan kompensasi dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN),” ujar Fahmi.

 

Dia menambahkan, situasi tersebut juga tidak menyehatkan PLN. Sebab, transmisi dan jaringan distribusi dibangun menggunakan investasi PLN. Jika swasta memanfaatkannya dengan harga murah, hal tersebut dinilai merugikan PLN yang notabene perusahaan milik negara. 

 

“Mereka bisa menyewa tanpa harus membangun, di mana PLN membangun tersebut membutuhkan skema investasi dan juga beberapa proyek menggunakan dana APBN melalui skema Penyertaan Modal Negara (PMN), yang sejatinya hal tersebut tidak bisa dikomersialisasikan,” kata Fahmy. 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement