REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Center of Economic and Law Studies (CELIOS) menyampaikan tren penurunan surplus perdagangan pada September 2022. Direktur CELIOS, Bhima Yudhistira menyampaikan ini terjadi akibat moderasi pada harga komoditas ekspor utama terutama CPO di pasar internasional dan koreksi pada harga batu bara dibandingkan bulan sebelumnya.
"CPO sangat terkait dengan ancaman resesi global yang menurunkan permintaan bahan baku terutama untuk industri pengolahan," katanya dalam keterangan analisis neraca dagang September, Senin (17/10).
Sementara terkait batu bara, meski krisis energi tengah berlangsung di zona Eropa, namun ancaman resesi membuat proyeksi kebutuhan batu bara di tahun depan bisa menurun. Price reversal dari harga komoditas bisa menekan surplus perdagangan pada bulan Oktober.
Impor migas tidak bisa hanya dilihat menurun dibandingkan posisi bulan sebelumnya atau Agustus 2022. Tapi jika dibandingkan satu tahun terakhir, fakta bahwa impor migas naik 83,5 persen (yoy) perlu diwaspadai meski ada kebijakan kenaikan harga BBM, kenaikan defisit migas tetap tinggi.
Per Januari-September 2022 defisit migas menembus 18,8 miliar dolar AS, bahkan melebihi posisi Januari-Desember 2021 yang sebesar 13,2 miliar dolar AS. Ia menilai perlu diwaspadai dampak dari penurunan surplus perdagangan yang berlanjut terhadap stabilitas nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
"Semakin turun pendapatan ekspor sementara kebutuhan impor migasnya meningkat, maka rupiah berisiko alami pelemahan secara kontinu," katanya.
Sehingga, ia menilai perlu dicari langkah-langkah mitigasi dengan peningkatan porsi ekspor produk industri pengolahan non-komoditas. Juga mencari pasar alternatif yang masih cukup tahan terhadap ancaman resesi. Di Asean ada Vietnam dan Filipina, Afrika Utara, dan Timur Tengah.
Selain itu juga, bisa mengurangi ketergantungan pada konsumsi migas dengan percepatan transisi energi. Dan, memperbesar industri substitusi impor di dalam negeri.