Senin 05 Sep 2022 01:14 WIB

Pelabelan BPA di AMDK Bisa Diskreditkan Kemasan Polikarbonat Ramah Lingkungan

Pelabelan BPA di AMDK dinilai bisa sebabkan mispersepsi bagi masyarakat

Rep: Novita Intan/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Proses pengisian air minum dalam kemasan galon (ilustrasi). Rencana Badan Pengawas Obat dan Makanan untuk merevisi Peraturan BPOM Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan, khususnya pelabelan Biosphenol-A (BPA) pada Air Kemasan galon dinilai bisa menyebabkan terjadinya mispersepsi bagi masyarakat. Mispersepsi ini juga bisa mendiskreditkan produk galon guna ulang kemasan polikarbonat yang ramah lingkungan.
Foto: Dok Aqua
Proses pengisian air minum dalam kemasan galon (ilustrasi). Rencana Badan Pengawas Obat dan Makanan untuk merevisi Peraturan BPOM Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan, khususnya pelabelan Biosphenol-A (BPA) pada Air Kemasan galon dinilai bisa menyebabkan terjadinya mispersepsi bagi masyarakat. Mispersepsi ini juga bisa mendiskreditkan produk galon guna ulang kemasan polikarbonat yang ramah lingkungan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rencana Badan Pengawas Obat dan Makanan untuk merevisi Peraturan BPOM Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan, khususnya pelabelan Biosphenol-A (BPA) pada Air Kemasan galon dinilai bisa menyebabkan terjadinya mispersepsi bagi masyarakat. Mispersepsi ini juga bisa mendiskreditkan produk galon guna ulang kemasan polikarbonat yang ramah lingkungan.

Ketua Komisi Penegakan Regulasi Satgas Sampah Nawacita Indonesia, Asrul Hoesein mengatakan tindakan tersebut bukan hanya mencederai usaha air minum dalam kemasan (AMDK) galon guna ulang saja, tapi juga mencederai rakyat. 

“Saya juga sudah mengingatkannya untuk menghentikan tindakannya itu. Bukan mencederai perusahaan AMDK galon guna ulang saja, tapi juga rakyat. Karena, yang masuk-masuk ke rumah tangga itu kan AMDK galon guna ulang,” ujarnya saat webinar, Ahad (4/9/2022).

Dia berharap Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menghentikan sikap yang seakan mendukung beredarnya isu negatif terhadap galon guna ulang ini di tengah masyarakat. Karena, kalau tidak berhenti, hal ini akan jadi bumerang bagi BPOM akan dituding bersikap diskriminatif.

“BPOM seharusnya tidak hanya fokus mengawasi galon guna ulang saja, tapi juga minuman-minuman lainnya seperti teh, kopi, dan lain-lain. Jadi, BPOM, tolong minum-minuman teh, kopi, diperiksa sumber airnya. Ini catatan BPOM, jangan cuma galonnya saja itu yang diawasi. Karena, ada ribuan kemasan di supermarket yang harus diurus BPOM di luar galon,” ucapnya.

Sementara itu Peneliti Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Institut Teknologi Bogor (IPB), Nugraha Edhi Suyatma, menyesalkan beredarnya isu soal BPA di tengah masyarakat. Menurutnya, isu ini bisa memberikan kesalahan persepsi bagi konsumen bahwa kemasan galon guna ulang itu berbahaya, sementara kemasan plastik-plastik lainnya itu terkesan aman.

“Padahal, seperti yang kita tahu bahwa BPA ada di mana-mana, tidak hanya di galon polikarbonat, tetapi ada juga di kemasan kaleng, botol bayi, atau di dot. Itu mestinya dilarang total bagi bayi dan anak-anak,” ucapnya.

Dia mengutarakan pada makanan kaleng ada riset yang mengatakan hampir 90 persen enamel pada kaleng itu terbuat dari epoksi. “Nah, epoksi itu merupakan BPA dan BPA adalah sebagai basic. Jadi, seharusnya ini juga perlu dilabeli juga,” ucapnya.

Dia juga mengkritisi langkah BPOM yang seolah membiarkan kampanye negatif terhadap galon polikarbonat. Hal ini justru bertentangan dengan BPOM sendiri pada aturan label pangan. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement