REPUBLIKA.CO.ID, AMSTERDAM -- Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir menegaskan komitmen BUMN membantu pemerintah dalam mengantisipasi dampak pengalihan subsidi BBM. Erick menyebut BUMN berkewajiban menjalankan penugasan dengan memastikan ketersediaan pasokan dan ketersediaan BBM, subsidi BBM yang tepat sasaran, hingga bantuan kepada masyarakat.
Meski stok BBM tersedia, Erick meminta Pertamina tetap bersiaga menjaga kelancaran pasokan BBM dapat terjaga dengan baik di lapangan.
"Tadi pagi saya telepon direksi Pertamina untuk memastikan ini harus benar-benar terpantau dan terjaga, karena ini kepercayaan dari pemerintah yang memberikan penugasan kepada kita dan juga melayani masyarakat jangan sampai masyarakat nanti kecewa dengan pelayan," ujar Erick di Amsterdam, Belanda, Sabtu (3/9).
Erick menyampaikan kondisi dunia saat ini sangat dinamis yang membuat pemerintah memutuskan melakukan pengurangan subsidi BBM. Menurut Erick, hal ini telah dilakukan secara matang dengan memberikan kepastian kepada masyarakat tidak mampu mendapatkan BBM subsidi dan juga bantuan sosial.
"Ya kita semua juga merasakan berat, kita sebagai pejabat pemerintah untuk melakukan hal ini sangat berat, oleh karena itu kita meminta Pertamina harus efisiensi lagi," ucap Erick.
Erick menilai pengurangan subsidi merupakan hal yang harus diambil pemerintah dalam mengurangi beban subsidi yang sudah terjadi sejak 2003 melakukan impor BBM. Erick mengatakan Presiden Jokowi melihat situasi ketidakpastian perekonomian dunia yang membuat pemerintah harus mengambil keputusan tersebut.
"Beliau (presiden) melihat situasi global ini tidak menentu dan ini harus diambil kebijakan yang memang tidak mudah karena Rp 502 triliun itu angka yang luar biasa yang belum tentu kita kuat menjaga sampai tahun-tahun ke depan kalau harga BBM tidak turun. Kita bisa lihat sudah sejak lama sebenarnya kita sudah impor BBM dari 2003, semua enggak menyadari seakan-akan kita masih swasembada, padahal tidak," lanjut Erick.
Dengan tren pertumbuhan penduduk, Erick menilai hal ini akan berimplikasi pada penambahan permintaan BBM. Oleh karena itu, lanjut Erick, BUMN berusaha membantu pemerintah dalam mengurangi besarnya subsidi BBM dengan sejumlah cara, baik program elektrifikasi kendaraan, hingga substitusi dengan memproduksi energi jenis baru. Erick mencontohkan program campuran 40 persen minyak sawit ke bahan bakar diesel atau B40.
Untuk itu, Erick menugaskan BUMN perkebunan, PTPN, meningkatkan produktivitas etanol sebagai substitusi BBM seperti yang telah dilakukan Brasil dan India. Dengan begitu, lanjut Erick, BUMN dapat membantu keuangan negara melalui ekspor produk minyak berkualitas tinggi.
"Lalu, kita mengimpor BBM dengan kualitas yang kurang bagus, tetapi dicampur dengan etano RON 30 itu menjadi BBM yang kita bisa pergunakan untuk apa pun. Kalau kita lihat, Thailand saja sudah memproduksi bioetanol ini sampai 12 persen, di India sampai 10 persen, kenapa kita tidak bisa, ini yang kita coba lakukan," ucap Erick.
Selain itu, sambung Erick, BUMN juga berkomitmen meningkatkan proses konversi batubara menjadi produk gas yang dapat digunakan untuk bahan bakar, maupun bahan baku industri atau gasifikasi batubara untuk menekan besarnya jumlah impor LPG.
Erick menyebut impor BBM tetap akan diperlukan meskipun program kendaraan listrik, B40, hingga bio avtur berjalan optimal. Dia menilai penggunaan BBM tak terbatas pada kendaraan, melainkan juga untuk menopang kebutuhan petrokimia.
"Bahan baku petrokimia itu salah satunya dari CPO yang diturunkan menjadi plastik, baju, dan obat-obatan artinya ke depan yang namanya kita mengimpor BBM bukan tidak mungkin terus meningkat kalau tidak ada perbaikan ekosistem," ungkap dia.
Erick menyampaikan Pertamina juga berupaya keras dalam mengantisipasi pengurangan subsidi. Erick menilai Pertamina tetap menahan harga jual Pertamax berada di bawah kompetitor yang lain.
"Kita jangan terjebak paradigma kenaikan harga, tapi ini pengurangan subsidi karena kan Pertamina sifatnya penugasan," kata Erick menambahkan.