REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Global Islamic Fintech Report 2022 yang dirilis Dinar Standard pekan lalu menempatkan Indonesia di peringkat ketiga dari 64 negara, setelah Malaysia dan Saudi Arabia. Posisi tersebut naik dari tahun 2021 yang menempatkan Indonesia pada posisi keempat.
Berdasarkan laporan, ekosistem fintech di Indonesia dinilai menjadi yang paling cepat berkembang khususnya di Asia Tenggara. Perkembangan pesat itu ditandai dengan penerbitan regulasi Fintech Peer to-Peer (P2P) pertama oleh Otoritas Jasa Keuangan Indonesia (OJK) pada 2016 silam.
Sampai saat ini, ada lebih dari 300 pemain fintech yang sepenuhnya berlisensi di Indonesia. Pertumbuhan industri fintech di Indonesia juga didukung oleh ekosistem yang lengkap. Saat ini terdapat empat asosiasi fintech yang diakui dan ditunjuk sebagai Self-Regulatory Organizations (SRO) oleh regulator.
Keempat asosiasi ini diklasifikasikan berdasarkan jenis layanannya atau model bisnis seperti Asosiasi P2P (AFPI), Asosiasi Crowdfunding Sekuritas (ALUDI), dan Keuangan Digital Asosiasi Inovasi (AFTECH). Selain itu ada juga asosiasi yang menaungi pelaku industri fintech syariah (AFSI).
"Meskipun AFSI diakui sebagai Digital Asosiasi Inovasi Keuangan oleh OJK, AFSI bertindak sebagai rumah bagi semua pemain fintech syariah dan merupakan Ekosistem digital yang sesuai dengan syariah di Indonesia," kata Ketua AFSI, Ronald Wijaya, dalam laporan tersebut.
Di sisi lain, industri fintech syariah di Indonesia masih menghadapi tantangan di tengah pandemi. Pasalnya terjadi perlambatan dalam pertumbuhan pemain fintech syariah. Meski demikian, Indonesia sekarang memiliki jumlah fintech syariah terbanyak yang diakui secara global.
Menurut Lansekap dan Database laporan ini, pertumbuhan keseluruhan di sektor fintech syariah tetap kuat, dengan pertumbuhan pembiayaan lebih dari 130 persen secara tahunan dari 2020 hingga 2021. Meski tetap lebih rendah dari fintech konvensional, pengembangan infrastruktur di fintexh syariah jauh lebih baik.
Hal tersebut tercermin dari kolaborasi yang terjalin dengan sektor perbankan. Kolaborasi fintech syariah dengan penyedia layanan keuangan syariah seperti bank perkreditan rakyat syariah, BMT (lembaga keuangan mikro syariah), bank pembangunan daerah syariah diproyeksi pertumbuhannya akan tetap kuat.
Perkembangan industri fintech syariah di Indonesia juga mendapat dukungan dari pemerintah bahkan termasuk dalam agenda nasional. Hal ini membuat prospek fintech syariah di Indonesia menjadi lebih cerah ke depannya.
Meski demikian, dari sisi pangsa pasar, Indonesia masih tertinggal dari negara-negara anggota OKI lainnya. Perkiraan ukuran pasar fintech syariah untuk negara-negara OKI pada tahun 2021 adalah 79 miliar dolar AS yang mewakili 0,83 persen dari ukuran pasar fintech global saat ini, berdasarkan volume transaksi.
Ukuran pasar fintech syariah untuk negara-negara OKI diproyeksikan tumbuh sebesar 17,9 persen CAGR menjadi 179 miliar dolar AS pada tahun 2026. Ini lebih baik dibandingkan dengan CAGR Fintech global sebesar 13,5 persen.
Berdasarkan volume transaksi fintech Smsyariah, Indonesia berada diurutan keenam setelah Arab Saudi, Iran, Malaysia, UEA, dan Turki. Secara kolektif, keenam negara ini menyumbang 81 persen dari ukuran pasar fintech syariah OKI.