REPUBLIKA.CO.ID, ELMAU -- Para pemimpin negara G7 memiliki rencana terperinci untuk memobilisasi anggaran sebesar 600 miliar dolar AS atau setara Rp 8.878,2 triliun (kurs Rp 14.797 per dolar AS) untuk pendanaan bagi negara berkembang. Hal ini sebuah langkah yang dianggap sebagai kontra terhadap proyek raksasa yang digagas China, yakni proyek Sabuk dan Jalan (Belt and Road).
Seperti dilansir dari laman BBC, Selasa (28/6/2022) kemitraan Infrastruktur dan Investasi Global (PGII) meluncurkan kembali skema yang diungkapkan pada pembicaraan G7 tahun lalu di Inggris.
Presiden AS Joe Biden mengatakan rencana itu akan memberikan keuntungan bagi semua orang. Prakarsa infrastruktur multi-triliun dolar China dikritik karena memukul negara-negara dengan terlalu banyak utang.
“Saya ingin memperjelas. Ini bukan bantuan atau amal. Ini adalah investasi yang akan memberikan pengembalian bagi semua orang,” ujar Biden tentang skema PGII G7.
Skema itu akan memungkinkan negara-negara untuk melihat manfaat nyata dari bermitra dengan demokrasi. Adapun rencana tersebut meminta para pemimpin G7 untuk mengumpulkan 600 miliar dolar AS selama lima tahun untuk mendanai peluncuran proyek infrastruktur di negara-negara berpenghasilan menengah dan rendah.
AS telah berjanji untuk mengumpulkan 200 miliar dolar AS (162 miliar euro) dari total melalui hibah, dana federal dan investasi swasta, sementara Uni Eropa telah mengumumkan 300 miliar AS (257 miliar euro). Inisiatif ini akan diarahkan untuk mengatasi perubahan iklim, meningkatkan kesehatan global, mencapai kesetaraan gender, dan membangun infrastruktur digital.
Beberapa inisiatif yang disorot termasuk proyek bertenaga surya di Angola, fasilitas pembuatan vaksin di Senegal, dan kabel telekomunikasi bawah laut sepanjang 1.609 km yang menghubungkan Singapura ke Prancis melalui Mesir dan Tanduk Afrika. Rencana tersebut telah diajukan sebagai cara untuk melawan Belt and Road Initiative (BRI) China yang ambisius.
Diluncurkan oleh presiden China Xi Jinping pada 2013, BRI menyediakan pembiayaan bagi negara-negara berkembang untuk membangun infrastruktur seperti pelabuhan, jalan dan jembatan. Meskipun telah mengembangkan hubungan perdagangan, itu juga telah dikritik sebagai sarana untuk memberikan pinjaman predator, memaksa negara-negara yang dibebani utang untuk menyerahkan aset-aset utama jika mereka gagal memenuhi pembayaran utang mereka.
Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen mengatakan tujuan dari proyek terbaru ini adalah untuk menghadirkan dorongan investasi yang kuat dan positif kepada dunia. "(Poyek ini) untuk menunjukkan kepada mitra kami di negara berkembang bahwa mereka memiliki pilihan,” ucapnya.
Rencana infrastruktur pertama kali diumumkan pada KTT G7 2021 di Inggris. Disebut Build Back Better World pada saat itu, rencana yang didorong oleh AS tersendat karena kurangnya kemajuan, dan proyek tersebut diubah namanya menjadi PGII sebelum dihidupkan kembali pada KTT 2022.