REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) menuntaskan negosiasi beroperasinya pembangkit listrik yang dibuat oleh Independent Power Producer (IPP). PLN mengantongi restu dari 17 IPP tentang kewajiban pembayaran penalti atau take or pay imbas perubahan rencana operasional pembangkit dan surplus listrik.
Direktur Perencanaan Korporat PLN Evy Haryadi menjelaskan sejauh ini negosiasi dengan para IPP berjalan cukup baik. Dia menuturkan manajemen sukses menutup beberapa negosiasi dengan kesepakatan yang mampu menghasilkan efisiensi bagi perusahaan.
Menurut dia, untuk tahun ini total kapasitas pembangkit yang direncanakan masuk dalam sistem PLN mencapai 20,4 Gigawatt (GW). Ada 34 IPP yang mestinya pembangkitnya sudah selesai dibangun dan masuk ke sistem PLN. PLN sudah selesai nego dengan 17 IPP.
"PPA Power Purchase Agreement (PPA) yang sudah di tanda tangani. 34 pembangkit 20,4 GW yang masuk tahun ini," ungkap Evy secara virtual, Senin (20/6).
Dari total kapasitas sebanyak itu 6 GW berada di Jawa Medura Bali (Jamali). Menurut Evy dari rencana pembangkit listrik yang masuk ini dilakukan beberapa negosiasi berupa pengunduran daftar COD. Selain itu PLN juga sukses membuat kesepakatan kewajiban Take or Pay dengan nilai lebih rendah dari kesepakatan sebelumnya.
Menurut Evy sejauh ini sudah mengantongi kesepakatan pada 17 PPA yang sudah ditandatangani dengan total nilai efisiensi untuk tahun ini yang cukup signifikan.
"Kita mengurangi capability factor yang tadinya Take or pay 80 persen jadi 70 persen. Target efisiensi Rp 61 trilun. Saat ini sudah Rp37,1 trilun. 17 PPA dari 34 PPA," ungkap Evy.
Negosiasi dengan IPP memang jadi salah satu cara yang ditempuh manajemen PLN dalam rangka strategi menekan biaya lantaran surplus listrik. Untuk tahun lalu saja PLN sukses kantongi sejumlah kesepakatan yang berujung pada efisiensi dengan nilai yang tidak sedikit.