Rabu 08 Jun 2022 20:05 WIB

Sri Mulyani: Pengetatan Moneter Cepat tak Berdampak Turunnya Inflasi

Pengetatan kebijakan moneter untuk merespons disrupsi suplai di seluruh dunia

Rep: Novita Intan / Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa (kanan) berbincang  bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani (kiri) saat mengikuti rapat kerja dengan Komisi XI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (8/6/2022). Rapat tersebut bergendakan pengambilan keputusan mengenai asumsi Ddasar dalam pembicaraan pendahuluan RAPBN Tahun Anggaran 2023.Prayogi/Republika.
Foto: Prayogi/Republika.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa (kanan) berbincang bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani (kiri) saat mengikuti rapat kerja dengan Komisi XI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (8/6/2022). Rapat tersebut bergendakan pengambilan keputusan mengenai asumsi Ddasar dalam pembicaraan pendahuluan RAPBN Tahun Anggaran 2023.Prayogi/Republika.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah menyebut pengetatan kebijakan moneter secara cepat dan ketat tidak berdampak terhadap penurunan tingkat inflasi. Hal ini merespon disrupsi suplai di dunia menjadi permasalahan akibat pandemi Covid-19.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan tingkat inflasi yang meninggi di berbagai negara disebabkan oleh produksi atau suplai yang tidak dapat memenuhi peningkatan permintaan, sementara percepatan pengetatan moneter hanya akan menyasar sisi permintaan.

Baca Juga

“Implikasi kebijakan makro fiskal dan moneter yang terlalu ketat sebetulnya tidak menyelesaikan masalah supply dan akan cepat mempengaruhi sisi demand. Demand, supply dan instrumen secara tepat diperlukan untuk menyelesaikan potensi stagflasi pertumbuhan ekonomi yang sangat besar dalam makro, mikro bahkan sektoral,” ujarnya saat rapat kerja bersama Komisi XI DPR, Rabu (8/6/2022).

“Kalau kebijakan makro yaitu fiskal dan moneter terlalu cepat atau ketat, yang tujuannya akan lebih cepat memengaruhi sisi demand (permintaan), sebetulnya tidak menyelesaikan masalah sisi suplainya,” ucapnya.

Dia menuturkan suplai komoditas unggulan seperti minyak mentah, gas, batu bara, gandum, dan jagung, tertahan karena perang Rusia-Ukraina dan pandemi Covid-19.

"Jadi inflasi di dunia saat ini dikontribusi dari sisi produksi atau suplai itu lebih dominan dibandingkan kontribusi dari sisi permintaan akibat perang maupun pandemi," ucapnya.

Menurutnya inflasi tinggi menjadi tren kepastian meskipun kebijakan moneter diperketat, sehingga, implikasi asumsi makro mengenai suku bunga, inflasi dalam postur anggaran pendapatan belanja negara (APBN) harus dijaga dari RAPBN 2023.

“Kebijakan moneter yang lebih ketat kembali lagi ke seberapa cepat dan tinggi trennya. Artinya, memang cost of money menjadi lebih tinggi,” ucapnya.

Menurutnya inflasi akan menjadi tema yang terus menerus dibahas hingga 2023. Sebagai pengurus inflasi, pihaknya akan melakukan rekalibrasi dengan melakukan penyesuaian untuk menjaga keseimbangan antara inflasi yang diharapkan rendah serta pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

“Risiko global dirasakan betul dan menjadi bahan pembahasan global. Munculnya risiko dari kenaikan inflasi akibat harga energi dan pangan sehingga menyebabkan pengetatan moneter,” ucapnya.

Adapun tingkat inflasi ini juga dibahas dalam roundtable governor discussion saat pertemuan Islamic Development Bank (IsDB), yang merembet pada pembahasan seberapa cepat dan seberapa ketat kebijakan moneter yang perlu diambil bank-bank sentral untuk menjinakkan inflasi.

"Jadi nanti kita akan lihat dampaknya kepada pembahasan kita adalah tadi, kalau seandainya pengetatan cepat dan tinggi, ketat, maka dampak terhadap pelemahan ekonomi global akan terlihat spillover ke seluruh dunia," ucapnya.

Menurutnya juga mengatakan sempat berbicara soal inflasi dengan beberapa menteri keuangan lain dalam pertemuan IsDB.

Menteri Keuangan Turki Nureddin Nubeti bercerita tentang inflasi di negaranya yang sudah tembus 74 persen year on year karena energi seperti BBM dan gas tidak disubsidi oleh negara.

Sementara itu Menteri Keuangan Mesir bercerita terkait dampak kenaikan harga gandum dan minyak sehingga memutuskan untuk memberikan subsidi energi kepada warganya, akibatnya defisit anggaran Mesir jauh lebih tinggi dibanding Indonesia.

"Yang terjadi sekarang ini adalah memang pemulihan ekonomi dunia berjalan, namun diiringi dengan kenaikan harga-harga komoditas yang melonjak sangat tinggi, terutama semenjak bulan Februari terjadi serangan terhadap Ukraina oleh Rusia," ucapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement