REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mampu menjaga sektor jasa keuangan tetap dalam keadaan stabil dalam sepuluh tahun OJK menjalankan amanah undang-undang No.21/2011. Solidnya pengaturan dan pengawasan OJK bahkan sukses membawa industri jasa keuangan melewati krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19 dalam dua tahun terakhir ini.
Tak ada satupun perusahaan perbankan dan industri keuangan nonbank yang ditutup akibat gagal menghadapi krisis pandemi. Berbeda saat krisis ekonomi 2008 yang menyeret Bank Century menjadi bank gagal dan harus di-bailout pemerintah Rp 6,7 triliun. Kinerja pasar modal juga sangat membanggakan dengan rekor-rekor transaksi dan besarnya jumlah investor ritel yang masuk.
Menurut ekonom Aviliani, selama pandemi Covid-19, OJK mampu menjaga reputasi sektor keuangan. Hal ini mengingat banyak masalah sektor jasa keuangan yang bisa diselesaikan OJK. “Dalam kurun waktu ini, bank bermasalah bisa diselesaikan dengan berbagai cara, sehingga perbankan tidak memiliki kendala, bahkan tidak terjadi penarikan dana masyarakat. Jika terjadi penarikan dana masyarakat artinya kita sudah mengalami krisis dari kemarin,” ujarnya ketika dihubungi Republika, Rabu (11/5/2022).
Aviliani juga menyebut kinerja OJK cukup responsif. Hal ini terlihat ketika perbankan dipaksa menggenjot kredit maka perbankan bisa tumbuh sehingga mampu mendorong daya beli. “Karena ada PPKM dilonggarkan maka terjadi pertumbuhan kredit yang cukup signifikan. Bahkan pertumbuhan kredit sebesar lima persen,” ucapnya.
Pada kuartal I 2022, lanjut Aviliani, OJK mampu mendorong industri perbankan dan sektor jasa keuangan tumbuh secara sehat. Bahkan ketika masa krisis perbankan tidak dipaksakan untuk menyalurkan kredit, OJK tetap memberikan target yang tercantum di dalam rencana bisnis bank. “Di dalam RBB akan disesuaikan kemampuan masing-masing bank misal bank BUMN dan swasta. OJK sangat fair menilai industri perbankan, sehingga industri happy,” ucapnya.
OJK telah mengeluarkan forward looking and countercyclical policies yang ditujukan untuk mengurangi volatilitas pasar dan outflow nonresiden, serta menjaga stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan. Pada 13 Maret 2020, OJK dengan cepat mengeluarkan Kebijakan Stimulus Melawan Dampak Covid melalui POJK No.11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease yang mulai berlaku sejak 13 Maret 2020.
POJK ini ditujukan menjadi countercyclical dampak penyebaran virus Corona, sehingga bisa mendorong optimalisasi kinerja perbankan khususnya fungsi intermediasi, menjaga stabilitas sistem keuangan, dan mendukung pertumbuhan ekonomi. Adapun pemberian stimulus ditujukan kepada debitur pada sektor-sektor yang terdampak penyebaran virus Covid-19, termasuk dalam hal ini debitur UMKM dan diterapkan dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian yang disertai adanya mekanisme pemantauan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan dalam penerapan ketentuan (moral hazard).
Kebijakan restrukturisasi kredit OJK ini direspons dengan baik oleh industri perbankan dan sektor usaha mengingat beratnya dampak krisis ekonomi yang menurunkan laju bisnis hampir di semua sektor usaha termasuk UMKM. Tercatat nilai restrukturisasi kredit mencapai angka tertinggi pada Desember 2020 sebesar Rp 971 triliun yang diberikan kepada 7,6 juta debitur atau sekitar 18 persen dari total kredit perbankan.