REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah terus menggencarkan pengembangan dan produksi mobil listrik di Tanah Air. Hal ini seiring dengan keinginan Presiden Joko Widodo untuk mempercepat transisi kendaraan berbahan bakar fosil ke kendaraan listrik yang lebih ramah lingkungan.
Jokowi menyebut jika 2022 menjadi momen penting bagi Indonesia untuk mengembangkan ekosistem mobil listrik. Jokowi pun bercita-cita agar kendaraan listrik bisa menjadi moda transportasi utama di Indonesia, termasuk menjadi tumpuan transportasi ramah lingkungan.
Menurut Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira pada tahun ini menjadi momen bagi pengembangan mobil listrik di Indonesia. Terlebih di tengah lonjakan harga minyak mentah dunia saat ini.
Harga minyak mentah dunia telah melonjak di atas 100 dolar AS per barel pertama kalinya dalam beberapa tahun terakhir saat Rusia menginvasi Ukraina, dan harga minyak terus naik saat konflik meningkat. Harga minyak WTI berada level tertinggi 130,5 dolar AS per barel awal pekan lalu, harga minyak Brent diperdagangkan setinggi 139,26 dolar AS per barel.
"Dengan kenaikan harga minyak mentah, apalagi di atas 100 dolar AS per barel ini sebenarnya menjadi insentif bagi masyarakat beralih ke mobil listrik. Konsumen di AS sangat tertekan dengan kenaikan harga BBM, sehingga mereka beralih ke mobil listrik yang biaya bahan bakarnya jauh lebih murah," ucapnya.
Sementara di Indonesia, lanjut dia, pengembangan ekosistem mobil listrik harus mendapatkan dukungan penuh dari pemerintah. Salah satunya dengan memberikan lebih banyak insentif kepada pengembangan mobil listrik.
"Jangan insentifnya justru banyak diberikan kepada LCGC ( low cost green car) atau kepada industri otomotif yang bahan bakarnya BBM berupa diskon tarif PPnBM. Ini sebuah kesalahan kebijakan, sehingga investor mobil listrik menilai regulasi di Indonesia masih mendukung mobil yang bahan bakarnya BBM atau fosil," ucapnya.
Selain memberi insentif, Bhima menilai pemerintah juga harus menjadi contoh peralihan kendaraan berbahan bakar fosil ke kendaraan listrik. Misalkan, pemerintah pusat dan daerah harus menjadikan kendaraan listrik sebagai kendaraan dinas instansi-instansi pemerintah.
"Harus ada Instruksi Presiden atau Peraturan Presidennya, sehingga mobil listrik dan motor listrik saat ini ada di kantor-kantor pemerintahan. Jadi harus dicontohkan dulu oleh pemerintah," ucapnya.
Terkait kesiapan infrastruktur, fasilitas penunjang, dan harga kendaraan listrik, Bhima mengakui jika di Indonesia ketiga hal tersebut masih menjadi hambatan besar pengembangan ekosistem kendaraan listrik. Namun demikian, dia juga mengapresiasi upaya dari BUMN seperti PLN yang terus menambah fasilitas pengisian daya listrik bagi kendaraan masa depan tersebut.
"Itu memang menjadi penghalang bagi ekosistem mobil listrik di Indonesia. Tetapi dengan keberadaan PLN charging station itu sangat membantu di setiap SPBU sampai ke daerah-daerah. Ini menjadi sarana pendukung bagi kendaraan listrik," tuturnya.
Sementara itu Pengamat Transportasi, Djoko Setijowarno mengakui harga mobil listrik yang terhitung mahal memang kendala terbesar masyarakat untuk beralih ke kendaraan yang lebih ramah lingkungan tersebut. Namun, masih ada celah yang bisa dilakukan pemerintah untuk menarik minat masyarakat berpindah dari kendaraan berbahan bakar fosil ke kendaraan listrik, salah satunya dengan memberikan insentif berupa keringanan kredit bagi kendaraan listrik.
"Orang kita kan senangnya nyicil, kalau DP dipermudah dan cicilannya kecil mungkin orang bisa (beli)," ucapnya.
Selamatkan Lingkungan dan APBN
Bhima memastikan jika transisi kendaraan berbahan bakar minyak ke kendaraan listrik bisa berjalan mulus di Indonesia, bukan hanya berdampak pada kelestarian lingkungan saja, melainkan juga pada anggaran negara.
Sebagai informasi, dari data Kementerian ESDM melaporkan, realisasi subsidi energi 2021 mencapai Rp 131,5 triliun atau melonjak dari target sebesar Rp 110,5 triliun.
Dari angka tersebut, subsidi BBM dan LPG memakan anggaran hingga Rp 83,7 triliun atau naik dari target awal senilai Rp 56,9 triliun. Lonjakan subsidi energi pada tahun lalu salah satunya disebabkan oleh volume penyaluran BBM bersubsidi pada 2021 naik menjadi 16 juta kilo liter (kl).
Tak hanya dapat menekan subsidi, penggunaan kendaraan listrik juga bisa mengurangi impor BBM yang dari tahun ke tahun semakin meningkat. Pada tahun lalu misalnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai impor hasil minyak atau BBM sepanjang 2021 melonjak 74 persen menjadi 14,39 miliar dolar AS atau sekitar Rp 205,7 triliun (asumsi kurs Rp 14.300 per dolar AS ) pada 2021 dari 8,28 miliar dolar AS sepanjang 2020.
Dari sisi volume, total volume impor BBM selama 2021 naik 5,5 persen menjadi 29,79 juta ton dari 21,93 juta ton sepanjang 2020. Sedangkan penggunaan kendaraan listrik digadang bisa menghemat devisa negara sebesar Rp 87,86 triliun pada 2050.