REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketersediaan minyak goreng di pasaran masih langka. Ombudsman Republik Indonesia (RI) menyebutkan, ada beberapa dugaan penyebab kelangkaan minyak goreng.
Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika mengatakan, dugaan pertama yakni ada perbedaan data Domestic Market Obligation (DMO) yang dilaporkan dengan realisasinya. Realisasi DMO hanya akan terkonfirmasi dengan data yang seharusnya dikumpulkan dari distributor.
Kedua, kata dia, pelaksanaan DMO tanpa diikuti dengan memasangkan antara eksportir CPO atau olahannya dengan produsen minyak goreng. "Tidak semua produsen minyak goreng mendapatkan CPO DMO dengan harga DPO. Tidak semua produsen minyak goreng berorientasi ekspor. Sehingga kapasitas produksi minyak goreng diduga mengalami penurunan, untuk menghindari kerugian," ujar Yeka dalam konferensi pers secara virtual, Selasa (15/3).
Penyebab ketiga, lanjutnya, masih terdapat panic buying. Rumah Tangga atau pelaku UMKM meningkatkan stok minyak goreng, sebagai respon terhadap belum adanya jaminan ketersediaan minyak goreng, terlebih lagi menghadapi puasa dan hari raya.
Lalu keempat, munculnya spekulan yang memanfaatkan kondisi disparitas harga yang sangat besar antara Harga Eceran Tertinggi (HET) dengan harga di pasar tradisional yang sulit untuk diintervensi. "Aktifitas spekulan ini juga yang memunculkan dugaan terjadinya penyelundupan minyak goreng," jelas dia.
Penyebab berikutnya, yaitu gagalnya fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan. Fungsi pengawasan tidak akan berhasil diterapkan ketika disparitas harga terjadi dengan gap yang sangat besar.
Ombudsman RI menilai, akar permasalahan munculnya berbagai permasalahan yang timbul sebagai dampak stabilisasi pasokan dan harga minyak goreng yaitu tingginya disparitas antara harga Domestic Price Obligation (DPO), HET, dengan harga pasar. Disparitas harga berkisar antara Rp 8.000 sampai Rp 9.000 per kilogram (kg).