Kamis 06 Jan 2022 14:53 WIB

Guru Besar  IPB University: Bisnis Udang Masih Sangat Menarik

Margin usaha tambak udang masih 30-40 ribu rupiah per kilogram.

Warga menangkap udang vaname saat panen raya di salah satu tambak di Depok, Siwalan, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah, Kamis (22/7/2021). Pemilik tambak udang setempat mengatakan usaha tambak udang vaname miliknya menghasilkan sebanyak 6,5 ton udang dalam jangka waktu empat bulan.
Foto: ANTARA/Harviyan Perdana Putra
Warga menangkap udang vaname saat panen raya di salah satu tambak di Depok, Siwalan, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah, Kamis (22/7/2021). Pemilik tambak udang setempat mengatakan usaha tambak udang vaname miliknya menghasilkan sebanyak 6,5 ton udang dalam jangka waktu empat bulan.

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Menurut Prof Bambang Widigdo, dosen IPB University dari Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK), bisnis udang masih sangat menarik secara ekonomis karena berorientasi ekspor. Di tingkat petambak, margin usaha ini berkisar antara 30-40 ribu rupiah per kilogram dan tidak terpengaruh secara nyata walaupun mengalami pandemi Covid-19.

“Agar produk budidaya udang Indonesia dapat bersaing di pasar internasional, kita harus dapat menunjukkan seberapa jauh dapat memenuhi persyaratan atau kriteria internasional,” ujarnya dalam kegiatan “Bimbingan Teknis terkait Cara Budidaya Ikan yang Baik (CBIB)”, yang digelar oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan beberapa waktu lalu.

Ia menambahkan, kriteria yang dimaksud telah dirumuskan oleh Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) dalam panduannya yang disebut dengan International Principles of Responsible Shrimp Farming (IPRSF).

“Inti dari persyaratan tersebut adalah kegiatan produksi udang budidaya harus dijalankan dengan cara yang ramah lingkungan, ramah sosial dan produknya sehat dikonsumsi atau tidak mengandung antibiotik dan residu bahan kimia yang berbahaya,” ujarnya seperti dikutip dalam rilis yang diterima Republika.co.id.

Menurutnya, persoalan lingkungan yang terkait dengan budidaya tambak udang, di antaranya perubahan bentang alam mangrove yang dikonversi menjadi tambak, salinasi (intrusi air laut ke tanah daratan), penggunaan tepung ikan (by catch), pencemaran perairan pesisir akibat limbah tambak, serta ancaman biodiversity (jika benur diambil dari alam).

“Pemerhati atau peneliti lingkungan belakangan ini juga mulai gencar menghubungkan peningkatan gas rumah kaca (greenhouse gasses) dengan perluasan tambak udang. Menurut kajian beberapa peneliti, kegiatan tambak udang menduduki peringkat pertama dalam menurunkan luasan hutan mangrove Indonesia, diikuti oleh penambangan kayu, dan kegiatan lainnya,” jelasnya.

Dilematisnya, lanjutnya, saat ini pemerintah sedang berupaya meningkatkan produksi udang mencapai 250 persen di tahun 2024 dibanding 2018, serta berencana membuka tambak baru sekitar 100 ribu hektar.

“Maka disarankan agar tambak dibangun di atas kawasan supratidal (di atas kawasan hutan mangrove) dan tambak-tambak tradisional ditingkatkan intensitasnya menjadi tradisional plus, semi intensif, atau intensif,” imbuhnya.

Prof Bambang menyoroti lahan tambak yang terbengkalai sebaiknya dapat kembali ditanami pohon-pohon mangrove.

“Agar produk kita memenangkan persaingan global, maka harus mengikuti sertifikasi baik melalui program nasional (CBIB) maupun internasional,” jelasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement