Senin 13 Dec 2021 13:12 WIB

Berlaku 1 Januari 2022, Kemendag Minta DPR Ratifikasi RCEP Bulan Ini

12 dari 15 negara anggota telah meratifikasi RCEP.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Friska Yolandha
Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi menyampaikan paparannya saat mengikuti Raker dengan Komisi VI DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (13/12/2021). Dalam Raker tersebut membahas terkait beberapa rencana kerja diantaranya pemasaran regional comprehensive economic partnership agreement (persetujuan kemitraan ekonomi komprehensif regional) dan pembahasan kenaikan komoditas yang berpengaruh terhadap Inflasi, distribusi bahan pokok menjelang natal dan tahun baru 2022.
Foto: ANTARA/Muhammad Adimaja
Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi menyampaikan paparannya saat mengikuti Raker dengan Komisi VI DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (13/12/2021). Dalam Raker tersebut membahas terkait beberapa rencana kerja diantaranya pemasaran regional comprehensive economic partnership agreement (persetujuan kemitraan ekonomi komprehensif regional) dan pembahasan kenaikan komoditas yang berpengaruh terhadap Inflasi, distribusi bahan pokok menjelang natal dan tahun baru 2022.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Perdagangan (Kemendag) meminta DPR RI agar dapat segera meratifikasi perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP) sebelum pergantian tahun. Pasalnya, sebanyak 12 negara dari total 15 anggota RCEP telah meratifikasi RCEP dan siap diberlakukan awal tahun depan.

"RCEP dipastikan akan berlaku 1 Januari 2022 karena 12 negara anggota, yakni tujuh ASEAN dan lima negara mitra sudah selesaikan ratifikasi," kata Menteri Perdagangan, Muhammad Lutfi dalam Rapat Kerja bersama Komisi VI DPR di Jakarta, Senin (13/12).

Baca Juga

Diketahui, syarat berlakunya RCEP jika telah diratifikasi oleh enam negara ASEAN dan tiga negara mitra. Adapun selain Indonesia, negara yang belum meratifikasi yakni Malaysia dan Filipina. Namun, kedua negara itu dipastikan bakal meratifikasi RCEP sebelum 31 Desember 2021.

Dengan kata lain, kata Lutfi, jika tidak diuntaskan pada bulan ini, Indonesia akan menjadi satu-satunya negara yang belum meratifikasi perjanjian tersebut. Padahal, Indonesia merupakan negara inisiator sekaligus ketua perundingan RCEP.

 

"Pemerintah berharap agar persetujuan RCEP bisa melalui (pengesahan) undang-undang dengan sistem yang cepat sehingga bisa diimplementasikan pada awal tahun depan," kata Lutfi.

Disahkannya undang-undang sebagai dasar hukum RCEP dibutuhkan agar pemerintah dapat melanjutkan aturan turunan dalam bentuk Peraturan Presiden (Perpres) sekaligus naskah penjelasan RCEP sebagai syarat dari ratifikasi.

Perundingan RCEP telah dimulai sejak delapan tahun yang lalu dan menghabiskan 31 putaran. Lutfi mengungkapkan, tidak mudah bagi Indonesia dan para negara anggota untuk menyelesaikan perundingan karena adanya perbedaan dalam level pembangunan serta luasnya cakupan perjanjian sehingga sulit ditemukan titik keseimbangan.

Adapun manfaat dari perjanjian RCEP bagi Indonesia dalam jangka menengah panjang yakni investasi diperkirakan bakal meningkat 0,13 persen atau setara Rp 24,5 triliun pada 2040 mendatang. Jika Indonesia tidak bergabung dalam RCEP, akan terjadi penurunan investasi sebesar 0,03 persen atau setara 5,23 triliun di tahun yang sama.

RCEP, kata Lutfi, juga akan memberikan dampak positif bagi para pelaku UMKM di Indonesia untuk bisa masuk sebagai bagian dalam rantai pasok kawasan. Di sisi lain, mendukung pengembangan ekonomi digital melalui perdagangan di e-commerce.

"Persetujuan RCEP dapat mendorong pemulihan ekonomi dan penguatan daya saing ekonomi nasional. Pemerintah saat ini juga terus mendorong deregulasi penyederhanaan perizinan sebagai mitigasi dari implementasi RCEP," ujar dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement