REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Riden Hatam Aziz mengatakan, rencana mogok buruh nasional yang akan diselenggarakan pada 6-8 Desember nanti dapat berubah. Hal itu tergantung hasil demo yang dilakukan di berbagai wilayah Indonesia.
Para buruh menuntut soal penetapan upah minimum kota (UMK) dan upah minimum provinsi (UMP) yang berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan. “Jika di daerah-daerah yang gubernur-nya sudah menetapkan UMK dan UMP tidak berdasarkan PP Nomor 36 itu, rencana aksi kami tanggal 6-8 akan dievaluasi lagi,” kata Riden kepada Republika.co.id, Senin (29/11).
Riden mengaku dirinya ikut hadir dalam aksi di Jakarta. Dia mengatakan, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sudah menemui peserta aksi. “Pak Anies menyatakan secara implisit, secara jelas akan merevisi UMP DKI yang sudah diterbitkan berdasarkan PP Nomor 36,” ujar dia.
Pihak serikat pekerja akan menunggu hasil aksi di daerah paling lambat 2 Desember. Apabila keputusan gubernur di daerah lain masih mengacu pada PP Nomor 36, Riden menyebut tetap akan melakukan mogok kerja nasional. “Kami akan tetap mogok kerja kalau upah UMK 2022 berdasarkan PP Nomor 36,” ucap dia.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) bidang Kebijakan Publik, Sutrisno Iwantono mengatakan, saat ini sudah tidak diperlukan lagi aksi menuntut penetapan nominal UMK. “Angka itu sudah ditetapkan pemerintah dengan mendengar suara dari berbagai pihak,” kata Sutrisno.
Menurut dia, apabila itu terus dilakukan akan mengganggu aktivitas ekonomi. Meskipun penanganan pandemi Covid-19 sudah baik dan angka infeksi semakin turun, dampak bagi pelaku usaha tetap dirasakan. Untuk saat ini, para pelaku usaha sudah bertahan setengah mati.
“Jangan menimbulkan masalah baru. Terlebih ada varian baru (Covid-19) Omicron yang luar biasa. Mogok itu juga mempunyai risiko, kalau terjadi nanti runyam lagi ekonomi kita. Nanti pada akhirnya bisa berhenti kita, tidak bisa membayar gaji, susah semua,” ujar dia.
Meski begitu, Sutrisno mengatakan, sudah menjadi hak para buruh untuk melakukan penolakan itu. Namun, akan lebih baik apabila diurungkan kegiatannya. “Kalau diimbau, lebih baik diurungkan supaya tidak menimbulkan kemandekan lagi dalam kegiatan usaha,” kata dia.