Rabu 24 Nov 2021 06:53 WIB

Arogansi Kekuasaan: Dari Kerajaan Wolio Hingga Baghdad

Kerajaan Wolio pada 1599 M ajarkan pencegahan atas praktik arogansi kekuasaan

Di zaman dahulu raja bepergian dengen dipukul makai tend,
Foto: Ridwan Saidi
Di zaman dahulu raja bepergian dengen dipukul makai tend,

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Riwan Saidi, Politisi Senior, Sejarawan, dan Budayawan Betawi.

Meski raja di zaman dahulu bepergian dengan dipikul-pikul, mereka tak sombong. Mereka tegur rahayat di tepi jalan yang lagi pada jongkok. Tukang panggul raja walau upah tak seberapa mereka gembira saja.  Meski pun mereka yang manggul di belakang berisiko kena serangan 'gas lambung Raja' yang tiba-tiba masuk angin.

Wolio adalah satu-satunya kerajaan yang pada tahun 1599 M memiliki konstitusi tertulis yang disebut Martabat Tujuh . Disitu antara lain diatur pidana mati bagi raja yang berlaku lalim dan sombong.  

Tidak patut memberi 'juadah pada' rakyat dengan cara melemparkannya dari kendaraan, tidaklah elok pejabat berumur bicara soal hukum dengan menggertak-gertak yang lebih muda. Akhirnya dua kawula muda beli gertakan itu opung. Repot sendiri 'kan?  Waktu muda kali saat saya belajar maen pukulan (silat), guru kasi nasihat: "Wan nanti kalu lu udah tua, jangan ribut sama anak muda."

Perlawanan rakyat pada penguasa seringkali karena arogansi kekuasaan daripada soal kebijakan. Penguasa sombong tak disukai. Apalagi sudah sombong berbonus tolol.

Kebijakan yang merugikan rakyat sering manunggal dengan arogansi kakuasaan. Ini picu sengitnya perlawanan ketika kekuasaan  ditumbangkan. Kebijakan merugikan dan arogansi kekuasaan tentu timbulkan kontraksi dengan akibat tidak menguntungkan penguasa.

Tak usah Yang merugikan, kebijakan nan elok tapi tak realistis juga dapat reaksi boikot seperti yang dialami Khalifah Bagdad  Harun al Rasyid.

Syahdan daerah pinggir Bagdad penduduknya alami krisis madu. Khalifah ambil inisiatif serukan penduduk kota Bagdad derma setengah cangkir madu dan kumpulkan di gentong yang sudah disediakan di alun-alun. Harun al Rasyid khalifah simpatik, idenya menarik, tapi tak realistik. Penduduk kota sedang tidak berkelebihan rejeki.

Abu Nawas berpikir:"kalau aku tuang ke gentong setengah cangkir air putih 'kan tak ketauan. Sip."

Maka penduduk Baghdad dari pagi penuhi kewajiban. Mereka, ternasuk Abu Nawas, pergi ke alun-alun.

Sore harinya khalifah buka gentong dan bukan main kagetnya. Isi gentong cuma air putih. Khalifah cicipi, itu air gentong kaga manis-manis acan.

Dalam gelombang yang sama, maka pikiran individual menjadi komunal. Bukan lagi sigma individu tapi kolektiva inividu. Realita menyatukan pikiran dalam satuan time frame. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement