REPUBLIKA.CO.ID, SYDNEY -- Pengelola Bandara Sydney setuju untuk menjual salah satu bandara tersibuk di Australia ini senilai 23,6 miliar dolar Australia atau sekitar Rp 250,16 triliun (kurs Rp 10.600 per dolar Australia). Kebijakan ini diambil ketika pemerintah Australia membuka kembali rute perjalanan internasional.
Seperti dilansir dari laman Bloomberg, Senin (8/11) dewan bandara menerima tawaran 8,75 dolar Australia per saham dari grup yang dipimpin oleh IFM Investors Pty dan merekomendasikan para pemegang saham untuk menyetujui kesepakatan awal tahun depan.
“Perjanjian tersebut adalah yang terbaru di antara serentetan transaksi take-private baru-baru ini yang melibatkan aset infrastruktur dan dana pensiun Australia,” tulis keterangan resmi.
Pengumuman tersebut dikeluarkan seiring langkah pemerintah Australia yang mulai 1 November lalu mengizinkan pelancong dari luar negeri yang sudah divaksinasi masuk ke dua negara bagian terbesar di negara itu tanpa perlu karantina. Selain itu, pemerintah juga mengizinkan jutaan orang Australia bebas bepergian ke luar negeri.
Bandara Sydney sebelumnya telah menolak dua tawaran sebelumnya dari konsorsium, dimulai dengan tawaran awal sebesar 8,25 dolar Australia per saham pada Juli. Penawaran tersebut datang dari Sydney Aviation Alliance, termasuk dana pensiun Australia AustralianSuper Pty dan QSuper Ltd bersama dengan IFM investor infrastruktur yang dimiliki oleh 23 dana pensiun Australia dan Global Infrastructure Partners LP.
Pemegang saham terbesar yang ada di Bandara Sydney, UniSuper Ltd., berencana untuk mengalihkan 15 persen sahamnya ke perusahaan induk yang baru