REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perkumpulan Forum Kelapa Sawit Jaya Indonesia (Popsi) mengungkapkan, para petani yang berusaha mengikuti program peremajaan sawit rakyat (PSR) menemui banyak kendala. Di satu sisi, pendampingan dan dari aparatur daerah masih belum kuat.
Ketua Umum Popsi, Pahala Sibuea, mengatakan, program PSR yang saat ini berjalan sementara masih hanya diikuti oleh petani plasma, eks plasma, dan petani swadaya bukan di kawasan hutan.
Pahala mengungkapkan, petani yang mengikuti program PSR banyak yang mendapatkan pemanggilan oleh aparat hukum atas dugaan korupsi dan penyelewenangan. Selain itu, ketersediaan benih sesuai SNI juga belum optimal.
"Ini masih banyak permasalahan yang dihadapi di lapangan karena kurangnya monitoring dari dinas perkebunan," katanya dalam webinar, Kamis (23/9).
Masalah-masalah itu, utamanya dihadapi oleh petani plasma maupun eks plasma. Sementara, petani swadaya menghadapi masalah yang lebih besar. Para petani swadaya yang mengajukan program PSR untuk bisa mendapatkan dana nyatanya ada yang justru masuk dalam kawasan hutan.
Selain itu, petani swadaya sejauh ini belum memenuhi syarat untuk mengakses fasilitas perbankan. "Petani swadaya juga belum memiliki kelembagaan pekebun seperti koperasi atau gapoktan," kata Pahala.
Kendati masih menemui sejumlah masalah, sisi positif dari program PSR yakni dimudahkannya proses pengajuan oleh petani. Di mana, pada 2017-2018 ada 14 syarat yang diwajibkan pemerinta lalu dipangkas menjadi syarat pada 2019 dan dipangkas lagi menjadi hanya 2 syarat mulai tahun 2020.
Melihat masih banyaknya hambatan yang dialami dalam sektor perkebunan kelapa sawit, Pahala mengusulkan agar moratorium sawit dapat dilanjutkan. Namun, dengan skema yang lebih baik dan optimal. "Sampai kapan diperpanjang? Ya sampai tata kelola sawit sudah baik," kata dia.