Kamis 26 Aug 2021 08:30 WIB

Bioetanol Jadi Campuran Bensin Bisa Tekan Emisi Karbon

Sebagai negara agraris, Indonesia memiliki potensi bahan baku etanol yang besar.

Rep: Novita Intan/ Red: Satria K Yudha
Penguji menguji bahan bakar nabati bioetanol yang dibuat dari bahan-bahan alternatif seperti klobot jagung, sekam padi, ilalang, tebu dan jerami.
Foto: Antara/Syaiful Arif
Penguji menguji bahan bakar nabati bioetanol yang dibuat dari bahan-bahan alternatif seperti klobot jagung, sekam padi, ilalang, tebu dan jerami.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penggunaan bioetanol sebagai bahan bakar kendaraan disebut mampu menekan emisi karbon di sektor transportasi. Etanol dapat digunakan sebagai campuran bensin yang mampu meningkatkan kadar oktan dalam bensin serta mengeluarkan gas emisi yang jauh lebih rendah dibandingkan bensin murni.

Bahan pembuat bioetanol berasal dari produk pertanian seperti tetes tebu, singkong, maupun jagung. Sejumlah negara seperti Filipina dan Australia telah memperkenalkan bioetanol di pasar domestiknya.

Ketua Pusat ITB Sustainable Development Goals (ITB SGDs Network) Tirto Prakoso mengatakan, Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki potensi bahan baku etanol cukup besar. Menurutnya, manfaat jangka panjang dari bioetanol dapat menciptakan lapangan pekerjaan di sektor pertanian dan juga merangsang pertumbuhan industri pengolahan etanol di dalam negeri.

"Sehingga kedepannya Indonesia tidak tergantung oleh impor bahan bakar jadi dan impor minyak mentah. Selain tentu saja ada keuntungan lingkungan, di mana kita bisa mendapatkan udara yang lebih bersih, dan kualitas hidup yang lebih baik. Untuk itu, kita harus berani terlebih dahulu memperkenalkan bioetanol ke pasar domestik," kata Tirto dalam webinar, Rabu (25/8).

Berdasarkan Climate Transparency Report 2020 mengenai perkembangan upaya pengurangan emisi di negara G20, sektor transportasi di Indonesia menyumbang emisi karbon sebesar 27 persen di sektor energi, di bawah sektor kelistrikan dan industri yang masing-masing menyumbang 37 persen. Penggunaan bahan bakar berbahan fosil berlebihan pada kendaraan bermotor di Indonesia disinyalir menjadi salah satu faktor utamanya.

"Beberapa negara, seperti Australia, Amerika Serikat, Thailand dan juga Filipina menerapkan bioetanol di negara mereka harus menjadi pembelajaran untuk Indonesia agar dapat memperkenalkan bioetanol di pasar domestik. Bioetanol bisa membantu agenda pemerintah dalam mengurangi emisi karbon di sektor transportasi," kata Tirto.

Sebagai gambaran, implementasi bioetanol di Filipina selama 2009 sampai 2016 telah memberikan dampak positif seperti pengurangan emisi karbon sebesar 10 metriks ton atau sekitar 55,5 persen lebih rendah dibanding emisi dari bensin murni campuran MTBE. Kemudian, terciptanya lapangan pekerja di pedesaan di sektor pertanian hingga 1,2 juta pekerja.

Sedangkan di Australia, implementasi program bioetanol pada 6 pabrik bioetanol berkapasitas masing-masing 100 juta liter memiliki dampak yang sangat positif. Dampak itu antara lain pengurangan gas emisi sebesar 2,6 juta ton per tahun, menciptakan lapangan pekerjaan hingga 4.000 secara total, yang terdiri dari sekitar 1.000 pekerjaan di wilayah sekitar pabrik pengolahan dan sekitar 3.000 pekerjaan tidak langsung.

Pembicara dari Australia, Keith Sharp menyebutkan, tren sektor transportasi dewasa ini mengarah ke kendaraan berbasis baterai (electronic vehicle/EV) yang memproduksi zero gas emisi karbon. Namun, perlu disadari tren tersebut sulit terealisasi dalam 10 hingga 20 tahun mendatang.

Menurutnya kendala di dalam pengembangan keekonomian dari EV adalah harga EV yang masih sangat mahal. Isu lain adalah suplai listrik untuk EV masih didominasi dari energi fosil seperti batu bara dan gas alam.

"Ini jelas tidak ideal dari perspektif perubahan iklim. Maka dari itu, sebelum menujuk ke tren EV dalam 10-20 tahun ke depan bioetanol bisa menjadi alternatif dekarbonisasi di sektor transportasi," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement