Rabu 18 Aug 2021 14:43 WIB

Afghanistan di Bawah Taliban Menurut Mantan Petinggi BIN

Kemenangan Taliban akan dijadikan isu politik kebangkitan khilafah

Taliban berpatroli di Kandahar, Afghanistan, 17 Agustus 2021. Salah satu pendiri Taliban Abdul Ghani Baradar, pada 16 Agustus, menyatakan kemenangan dan mengakhiri perang selama puluhan tahun di Afghanistan, sehari setelah pemberontak memasuki Kabul untuk menguasai negara.
Foto: EPA-EFE/STRINGER
Taliban berpatroli di Kandahar, Afghanistan, 17 Agustus 2021. Salah satu pendiri Taliban Abdul Ghani Baradar, pada 16 Agustus, menyatakan kemenangan dan mengakhiri perang selama puluhan tahun di Afghanistan, sehari setelah pemberontak memasuki Kabul untuk menguasai negara.

REPUBLIKA.CO.ID, — Taliban kembali menguasai Afghanistan terhitung Ahad (16/8) lalu setelah menduduki Ibu Kota Kabul. 

Seperti apakah masa depan Afghanistan di bawah kekuasaan Taliban? Berikut ini analisis Wakil Kepala Badan Intelijen Negara(BIN) periode 2001-2011, KH As’ad Said Ali, yang juga beberapa kali terlibat berdialog dengan delegasi Taliban, sebagaimana dikutip dari akun media sosialnya dan telah dikonfirmasi Republika.co.id, Rabu (18/9):  

Baca Juga

*** 

Taliban kembali berkuasa di Afganistan setelah kehilangan kekuasaan diserbu pasukan Amerika Serikat dan NATO pada 2001. Taliban yang ketika itu dipimpin Mullah Umar dituduh tidak kooperatif menyerahkan Osama Bin Laden setelah peledakan WTC sept 2001. 

Padahal pemerintah “Imarah Islam Afganistan” dalam perundingan dengan Amerika Serikat bersedia menyerahkan Osama Bin Laden dengan syarat diadili lebih dahulu oleh pengadilan netral. 

Mullah Baradar merupakan salah satu calon kuat dipilih sebagai kepala eksekutif oleh Mawlawi Akhundzada untuk memimpin Imarah Islam Afganistan. 

Sedangkan kekuasaan tertinggi berada di tangan Dewan Tertinggi Taliban yang terdiri dari para ulama atau semacam ahlu al-halli wa al-aqdi dan dipimpin Akhundzada. Taliban isyaratkan utk menghormati HAM dan membebaskan wanita untuk bekerja.

Baca juga : AS Siap Kirim Kembali Pasukan ke Afghanistan Lawan Terorisme

Sebelum Kabul jatuh, Mullah Baradar berkunjung ke RRC berunding dengan para pemimpin negara tersebut. Diduga Taliban memilih menjalin hubungan lebih dekat dengan RRC baik hubungan politik maupun ekonomi.

Masalah Uighur menjadi bargaining power dimana Afganistan yang berbatasan dengan Provinsi Xinjiang ( Uighur ) menjadi kunci kendali terhadap tuntutan separatisme. 

Amerika Serikat dan Rusia, keduanya pernah menduduki Afganistan tidak menjadi prioritas. Afganistan dengan kekayaan tambang mineral yang melimpah, memerlukan investasi dan teknologi asing dan RRC yang berbatasan langsung tampaknya menjadi pilihan utama. Separatisme di Xinjiang menjadi agenda selanjutnya antara RRC dengan rezim Afganistan yang baru. 

Taliban memerlukan legitimasi internasional sehingga memerlukan dukungan dari negara Muslim lainnya dan dalam hal ini menyebut empat negara sebagai prioritas yaitu Indonesia, Arab Saudi, Iran, dan Turki. Turki penting terkait soal Uighur yang keduanya mempunyai hubungan suku dan budaya. 

Sedangkan Iran, selain dalam konteks merangkul suku Hazara  yg memeluk Islam Syiah, juga dalam konteks ekonomi untuk akses ke Samudra Hindia via pelabuhan peti kemas Chabahar yang sedang dibangun Iran. 

Arab Saudi juga penting bagi Afganistan terutama bantuan ekonomi. Indonesia dianggap sebagai negara Muslim Sunni moderat yang berpengalaman mengelola persatuan nasional di tengah beragam suku bangsa dan potensi ekonominya besar. Pakistan yang berbatasan langsung tidak termasuk empat negara di atas , mungkin terkait persengketaan wilayah “ Duran line” yang diklaim Pakistan sejak kemerdekaannya. 

Baca juga : Taliban tak Menyangka bisa Kuasai Afghanistan dengan Cepat

Memenangkan perang lebih mudah dibanding membangun kembali persatuan bangsa. Tantangan yang dihadapi Afganistan mendatang adalah memulihkan keamanan dan ketertiban , rekonsiliasi nasional serta pengakuan dunia. Hal itu tergantung bagaimana rezim Afganistan mengakomodasikan  fraksi Haqqani dan Mullah Rasul yg pada masa lalu menjadi saingan dan sikap terhadap eksistensi elemen ISIS dan Alqaeda. Tanpa stabilitas keamanan, pemulihan ekonomi tidak mungkin dilakukan.  

Sebagai catatan Imarah Islam Afganistan berbeda dengan khilafah ala ISIS, karena tidak menganggap sebagai penguasa dunia Islam. Tetapi para pendukung sistem khilafah mungkin akan menjadikannya sebagai isu politik untuk membangkitkan perlawanan di negara Islam lainnya. 

***   

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement