REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--PT Bank Syariah Indonesia Tbk atau BSI berkomitmen akan terus menjaga dan mendorong penerapan prinsip perbankan syariah yang adil, seimbang dan maslahat sesuai syariat Islam. Prinsip tersebut senantiasa diaplikasikan secara masif untuk memenuhi ekspektasi seluruh pemangku kepentingan.
Sebagai bank syariah terbesar di Tanah Air, BSI menjamin prinsip-prinsip Islam tersebut telah dilaksanakan dalam praktik perbankan. Contohnya adalah pelaksanaan murabahah atau kegiatan jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang sudah disepakati antara penjual dan pembeli.
Murabahah menjadi salah satu kegiatan jual beli yang diperbolehkan dalam Islam. Dalam akad murabahah, penjual harus memberi tahu pembeli mengenai harga pembelian produk. Kemudian penjual menyatakan jumlah keuntungan yang didapat dari produk tersebut.
Jika harga disepakati bersama, akad murabahah pun akan terjadi. Akad ini diadopsi BSI salah satunya dalam produk griya untuk pembiayaan kepemilikan rumah yang belum lama ini dihadirkan bank syariah pelat merah tersebut untuk nasabah. “Prinsip utama dalam perbankan syariah yaitu pembagian keuntungan dan kerugian, serta pelarangan pengambilan bunga atas suatu pinjaman. Prinsip itu sangat tegas, yang pertama adalah harus melakukan investasi dalam bidang usaha yang halal. Jadi setiap produk atau inisiatif apapun yang kami lakukan harus mendapatkan persetujuan dari Dewan Pengawas Syariah. Bahwa itu layak atau tidak untuk dipasarkan,” ujar Direktur Utama BSI, Hery Gunardi dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Jumat (18/6).
Terkait penerapan syariat Islam dalam lembaga yang dipimpinnya, Hery menegaskan pihaknya berkomitmen penuh dan menerapkannya secara berkesinambungan. Agar hal itu berjalan konsisten, manajemen BSI diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah sehingga proses bisnis dan operasional selalu selaras dengan hukum Islam.
Dengan menjaga prinsip sesuai hukum Islam tersebut, Hery memberikan garansi kepada seluruh stakeholder jika BSI tidak seperti bank konvensional. Terlebih BSI memiliki Dewan Pengawas Syariah yang dipimpin oleh Hasanuddin, yang juga Ketua Harian Dewan Syariah Nasional.
Indonesia sebagai negara Muslim terbesar, lanjut Hery, memiliki peranan untuk mendorong pengembangan bank syariah yang lebih masif. Untuk itu pihaknya akan lebih agresif melakukan literasi perbankan Syariah.
“Terlebih saat ini banyak masyarakat yang cenderung makin taat secara spiritual, mementingkan aksi sosial, dan safe security,” tuturnya.
Sebelumnya, Anggota Komisi VI DPR RI Andre Rosiade mempertanyakan tentang prinsip Islam yang dijalankan oleh BSI sebagai gabungan beberapa bank syariah milik Himbara. Andre mengkhawatirkan BSI justru masih menganut prinsip ekonomi kapitalis yang menjalankan praktek perbankan konvensional pada produk-produknya.
Menurut Andre, bank syariah seharusnya memberikan beragam manfaat yang tidak tersedia di bank konvensional, yakni aman menabung bertransaksi tanpa riba. Politisi Partai Gerinda itu berharap BSI betul-betul menerapkan sistem ekonomi Islam agar mayoritas masyarakat dapat merasakan sistem perbankan syariah yang diberikan oleh BSI.
Di sisi lain, sejatinya Dewan Syariah Nasional MUI dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengatur bahwa selain akad murabahah bank syariah pun dapat melakukan akad wakalah. OJK sebagai regulator mengaturnya dalam Penjelasan Atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 31/POJK.05/2014 Tentang Penyelenggaraan Usaha Pembiayaan Syariah.
Hadirkan Produk Keuangan Syariah yang Lebih Kompetitif
Adapun untuk meraih lebih besar nasabah, Hery menjelaskan produk-produk bank syariah harus lebih kompetitif ke depan. Hery mengakui adanya keluhan terkait anggapan bahwa biaya produk keuangan syariah lebih mahal. Menurutnya hal itu dikarenakan ukuran bank syariah yang masih kecil. Sehingga kemampuan untuk mobilisasi dana masyarakat masih terbatas.
Dia menjelaskan pada saat BSI terbentuk 1 Februari 2021, pihaknya masih memiliki banyak sekali ‘dana mahal’ yang merupakan limpahan dari tiga bank syariah milik Himbara sebelum merger. Seperti diketahui BSI merupakan bank syariah hasil peleburan PT Bank Syariah Mandiri, PT BRI Syariah dan PT BNI Syariah.
Setelah melakukan merger 3 bank syariah milik Himbara tesebut, kini jumlah cabang BSI menjadi 1.365 unit. Pihaknya optimistis dengan jaringan operasional semakin luas, akan mampu meraih dana lebih besar terutama dana murah.
Optimisme Hery soal biaya produk yang akan semakin ekonomis bertambah besar. Pihaknya melihat ada fenomena menarik di sektor keuangan khususnya perbankan syariah. Fenomena tersebut dipicu oleh gerakan hijrah komunitas.
Fenomena hijrah memunculkan banyak penabung baru di bank syariah. Hal itu menambah jumlah basis nasabah dan volume simpanan. Dengan demikian diharapkan dapat semakin menurunkan biaya dana bank syariah yang berimplikasi pada produk keuangan yang lebih kompetitif di masa depan. “Banyak sekali penabung-penabung di bank syariah itu yang tidak menginginkan margin. Jadi benar-benar menitip dananya,” ujarnya.
Untuk mengakomodir segmen nasabah tersebut, BSI pun menyediakan produk tabungan wadiah atau titipan. Dari sekitar Rp200 triliun dana pihak ketiga (DPK) yang telah dihimpun BSI, sekitar Rp 20 triliun atau sekitar 10 persen – 15 persen merupakan tabungan wadiah.
Setelah melakukan strukturisasi melalui peningkatan produk tersebut, cost of fund BSI yang semula berada di kisaran 3,5 persen, turun ke level 2,1 persen. Hery meyakini peluang penurunan lebih lanjut masih sangat terbuka seiring dengan peningkatan dana berbiaya murah.
“Pertumbuhannya cukup tinggi. Jadi kami sekarang memang memilih-milih dana di mana kita menumbuhkan kemampuan tabungan wadiah ini. Kemudian deposito yang mungkin terlalu mahal, yang tadinya kita butuh di saat legacy dulu, sekarang mungkin kami kurangi,” tuturnya.