REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam draf Revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), terdapat rencana pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) atas sembako. Staf Khusus Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Bidang Komunikasi Yustinus Prastowo mengatakan pemerintah menyodorkan konsep pajak multitarif.
"Sekarang yang berlaku kan tunggal 10 persen semua barang/jasa pukul rata 10 persen. Tidak peduli kemampuan bayar atau daya beli konsumennya. Sekarang disediakan konsep multitarif," ujar Yustinus dalam diskusi daring Polemik Trijaya, Sabtu (12/6).
Yustinus menjelaskan, berdasarkan konsep saat ini, pemerintah ingin mendesain agar Rancangan UU yang mengatur perpajakan lebih komprehensif dan adil. Rencana memasukkan golongan sembako ke objek pajak bukan berarti pemerintah ingin membebani masyarakat dengan memungut PPN dari bahan-bahan pokok.
Dengan PPN multitarif, memungkinkan barang-barang kebutuhan yang dikonsumsi kelompok atas dikenakan pajak lebih besar mencapai 15-20 persen. Di antaranya seperti daging wagyu, beras premium, dan telur omega tiga. Sedangkan barang-barang yang dibutuhkan banyak orang, seperti susu formula bisa dikenakan pajak lebih rendah, lima persen.
Barang-barang lain yang dinilai strategis dibutuhkan untuk kepentingan umum, seperti buku-buku pelajaran atau alat utama sistem senjata (alutsista) bisa dikenai PPN final sekitar satu-dua persen. Bahkan barang-barang kelompok ini bisa saja masuk dalam kategori tidak dipungut PPN atau nol persen.
"Iya untuk mencapai keadilan, karena di pajak itu ada adagium begini, kalau mau sederhana sudah pasti enggak adil ya tadi pukul rata, satu tarif simpel, enggak adil. Tapi kalau mau adil memang harus rumit sedikit," kata Yustinus.