Sabtu 05 Jun 2021 11:34 WIB

Keseriusan Pemerintah Diuji untuk Tagih Utang BLBI

Pemerintah akan melakukan penagihan sekitar Rp 110,45 triliun ke para obligor BLBI.

Rep: Novita Intan/ Red: Nidia Zuraya
Menko Polhukam Mahfud MD (kedua kanan) didampingi Menteri Keuangan Sri Mulyani (kedua kiri), Kabareskrim Komjen Pol Agus Andrianto (kiri) dan Ketua Satgas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Rionald Silaban menyampaikan konferensi pers seusai pelantikan satgas tersebut di Kemenkeu, Jakarta, Jumat (4/6/2021). Tim Satgas BLBI resmi dilantik dan akan melakukan penagihan kepada seluruh pihak yang terlibat yang telah menyebabkan kerugian negara sebesar Rp110,454 triliun.
Foto: ANTARA/Sigid Kurniawan
Menko Polhukam Mahfud MD (kedua kanan) didampingi Menteri Keuangan Sri Mulyani (kedua kiri), Kabareskrim Komjen Pol Agus Andrianto (kiri) dan Ketua Satgas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Rionald Silaban menyampaikan konferensi pers seusai pelantikan satgas tersebut di Kemenkeu, Jakarta, Jumat (4/6/2021). Tim Satgas BLBI resmi dilantik dan akan melakukan penagihan kepada seluruh pihak yang terlibat yang telah menyebabkan kerugian negara sebesar Rp110,454 triliun.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintahan Joko Widodo membuka kembali pengusutan kasus dana bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Adapun keseriusan pemerintah ditandai dengan pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Hak Tagih Negara dan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Satgas BLBI tertuang dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 6 Tahun 2021 tentang Satgas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI yang telah ditetapkan pada 6 April 2021 sampai masa tugas 31 Desember 2023. 

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan Satgas dibentuk dalam rangka penanganan dan pemulihan hak negara berupa hak tagih negara atas sisa piutang negara dari dana BLBI maupun aset properti. Hal ini mengakibatkan kerugian negara sekitar Rp 110,45 triliun.

“Jadi ini adalah hak tagih negara yang berasal dari krisis perbankan pada 97/98. Jadi memang pada saat itu negara melakukan bailout melalui Bank Indonesia yang sampai hari ini pemerintah masih harus membayar biaya tersebut,” ujarnya seperti dikutip dari laman Kementerian Keuangan, Sabtu (5/6).

Bahkan pemerintah menargetkan utang dana BLBI dapat ditarik kembali dalam tiga tahun ke depan. “Harapannya tiga tahun ini sebagian besar atau seluruhnya bisa kita dapatkan kembali. Mereka adalah pemilik-pemilik bank dan punya utang bank tersebut, bank Himbara atau bank-bank lainnya,” ungkapnya.

Sementara Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD sebagai Ketua Dewan Pengarah Satgas BLBI memastikan Satgas BLBI akan menagih semua piutang negara kepada para obligor dan debitur.

"Pemerintah akan melakukan penagihan sekitar Rp 110,45 triliun kepada semuanya dan kami harap agar semua obligor dan debitur yang akan ditagih itu kerja sama kooperatif karena itu uang negara," ucapnya.

Ketua Satgas BLBI Rio Silaban mengatakan aset piutang BLBI sebesar Rp 110,45 triliun, yang terdiri dari 22 obligor dan 12 ribu dokumen debitur. Secara rinci, total piutang debitur pengemplang dana BLBI yang akan ditagih satgas sebesar Rp 70 triliun. Sebab, Satgas BLBI hanya akan mengejar piutang yang bernilai di atas Rp 25 miliar.

“Dari piutang debitur yang akan kita bawa ke Satgas BLBI yang di atas Rp 25 miliar, sedangkan di bawah itu ke Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN),” ucapnya. 

Sedangkan total piutang obligor yang akan ditagih satgas sebesar Rp 40 triliun, yang terdiri dari Rp 30 triliun merupakan piutang obligor bekas penanganan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dan senilai Rp 10 triliun berasal dari Bank Dalam Likuidasi (BDL).

Kasus BLBI merupakan kasus lama yang merupakan warisan dari krisis moneter 1998. Pada periode tersebut, sejumlah bank mengalami masalah likuiditas akibat krisis moneter yang membuat nilai tukar rupiah depresiasi sangat dalam, sehingga utang valuta asing (valas) perbankan melonjak.

Mengantisipasi dampaknya pada perekonomian, maka pemerintah dan Bank Indonesia sepakat untuk membagi beban atau burden sharing. Adapun lewat program BLBI, bank sentral menggelontorkan dana sebesar Rp 147,7 triliun kepada 48 bank yang mengalami krisis. Nantinya melalui catatan, dana yang dipinjamkan harus dikembalikan kepada negara.

“Saat itu negara melakukan bailout melalui BLBI, yang sampai hari ini pemerintah masih harus bayar biayanya tersebut, yaitu bank sentral gelontorkan dana ke perbankan yang mengalami kesulitan waktu itu," ungkapnya.

Dana BLBI merugikan negara sebesar Rp 138,442 triliun dari Rp 144,536 triliun BLBI yang disalurkan berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) 2000. "Bantuan kredit itu diberikan kepada kepada 48 bank, bantuan kredit yang awalnya bersifat likuiditas menjadi solvabilitas karena pada ujungnya pemerintah yang menanggung kerugian dengan mengambil tanggung jawab para kreditur ke BI," tulis keterangan resmi Kementerian Keuangan.

Selain itu, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) juga menemukan penyimpangan senilai Rp 54,561 triliun yang dilakukan oleh 28 bank penerima BLBI. "Berdasarkan beberapa laporan hasil audit negara di atas, sangat jelas besarnya kerugian negara, apalagi KPK belum tuntas menyelesaikan penyelidikan mengenai kerugian negara dalam kasus BLBI terkait pengucuran dana ke berbagai bank (salah satunya Bank Dagang Nasional Indonesia), sehingga ke depan kemungkinan dapat diidentifikasi bertambahnya jumlah kerugian negara," tulis keterangan resmi Kementerian Keuangan.

Mahfud MD pun menegaskan Satgas BLBI akan mengejar utang BLBI sampai ke luar negeri. Satgas BLBI telah mengantongi semua nama obligor dan debitur BLBI.

"Tidak ada yang bisa bersembunyi karena di sini daftarnya ada dan Anda semua punya daftar para obligor dan debitur. Jadi, kami tahu, Anda pun tahu, sehingga tidak usah saling buka mari kooperatif saja," tegasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement