REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir mengaku bakal merampingkan jumlah dewan komisaris PT Garuda Indonesia (Persero). Erick memuji usulan dari Komisaris Garuda Indonesia Peter F Gontha mengajukan pemberhentian pembayaran gaji bulan mulai Mei 2021.
"Usul Pak Peter Gontha sangat bagus, kita harus puji. Bahkan, saya ingin nanti mengusulkan kalau bisa komisaris Garuda dua saja," ujar Erick saat jumpa pers di kantor Kementerian BUMN, Jakarta, Rabu (2/6).
Erick tak ingin manajemen hanya melakukan pensiun dini kepada karyawan, tapi tidak mengurangi jumlah komisaris. Erick menilai, perampingan jumlah komisaris menjadi wujud keseriusan manajemen dalam menangani persoalan maskapai pelat merah yang tengah dalam kesulitan finansial akibat pandemi.
"Jadi, nanti jumlah komisaris kita akan kurangi entah dua atau tiga," ucap Erick.
Posisi dewan komisaris Garuda saat ini ditempati Komisaris Utama Triawan Munaf, Wakil Komisaris Utama Chairal Tanjung, Komisaris Independen Elisa Lumbantoruan, Komisaris Independen Yenny Wahid, dan Komisaris Peter F Gontha.
Erick meminta waktu kepada masyarakat untuk memangkas jumlah komisaris Garuda. "Jadi, benar-benar mencerminkan keseriusan komisaris dan direksi Garuda, yang jalankan keseharian kan bukan saya, komisaris kita kecilkan jumlahnya itu bagian dari efisiensi. Kasih waktu dua minggu nanti ada RUPS," ungkap Erick.
Sebelumnya, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir telah memiliki empat opsi strategi dalam menyelamatkan PT Garuda Indonesia (Persero). Pemerintah melakukan benchmarking atau penolokukuran dalam menetapkan empat opsi tersebut.
Dari dokumen yang diperoleh Republika.co.id, berdasarkan hasil penolokukuran dengan apa yang telah dilakukan pemerintah negara lain, terdapat empat opsi yang dapat diambil untuk Garuda saat ini.
Opsi pertama, terus mendukung Garuda. Pemerintah akan terus mendukung Garuda melalui pemberian pinjaman atau suntikan ekuitas. Opsi ini merujuk pada praktik restrukturisasi Pemerintah Singapura terhadap salah satu penerbangan nasional negara setempat, yakni Singapore Airlines.
"(Opsi ini) berpotensi meninggalkan Garuda dengan utang warisan yang besar yang akan membuat situasi yang menantang pada masa depan," tulis dokumen tersebut.
Opsi kedua, menggunakan hukum perlindungan kebangkrutan untuk merestrukturisasi Garuda. Pemerintah menggunakan proses legal bankruptcy untuk merestrukturisasi kewajiban Garuda, misalnya utang, sewa, dan kontrak kerja. Opsi yurisdiksi yang akan digunakan US Chapter 11, foreign jurisdiction lain, atau PKPU.
"Tidak jelas apakah UU kepailitan Indonesia mengizinkan restrukturisasi," bunyi dokumen tersebut.
Opsi ini juga berisiko restrukturisasi berhasil memperbaiki sebagian masalah, seperti debt dan leaser, tetapi tidak memperbaiki masalah yang mendasarinya, seperti culture dan legacy. Contoh kasus yang menjadi rujukan ialah Latam Airlines milik Malaysia.
Opsi ketiga, restrukturisasi Garuda dan mendirikan perusahaan maskapai nasional baru. Untuk opsi ini, Garuda dibiarkan melakukan restrukturisasi.
Pada saat bersamaan, mulai mendirikan perusahaan maskapai penerbangan domestik baru yang akan mengambil alih sebagian besar rute domestik Garuda dan menjadi national carrier di pasar domestik.
"Untuk dieksplorasi lebih lanjut sebagai opsi tambahan agar Indonesia tetap memiliki national flag carrier. Estimasi modal yang dibutuhkan 1,2 miliar dolar AS," tulis dokumen tersebut.
Opsi keempat, Garuda akan dilikuidasi dan sektor swasta dibiarkan mengisi kekosongan. Dalam opsi ini, pemerintah mendorong sektor swasta untuk meningkatkan layanan udara, misalnya dengan pajak bandara atau subsidi rute yang lebih rendah.
"Indonesia tidak lagi memiliki national flag carrier," ujarnya.