REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Berdasarkan data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I 2021 masih mengalami kontraksi. Secara year on year (yoy), pertumbuhan ekonomi minus 0,74 persen, sedangkan dibanding kuartal sebelumnya minus 0,96 persen.
Center of Reform on Economics (CORE) menilai kontraksi pertumbuhan ekonomi ini terjadi karena dipengaruhi pertumbuhan konsumsi yang juga masih kontraksi. "Sebagaimana diketahui, konsumsi masyarkat merupakan proporsi terbesar dalam ekonomi Indonesia," kata ekonom CORE Yusuf Rendy Manilet, Rabu (5/5).
Menurut Yusuf, pertumbuhan konsumsi masyarakat yang terkontraksi sudah bisa diprediksi dari beberapa indikator. Salah satunya yaitu indeks penjualan riil yang pertumbuhannya masih berada pada level negatif.
Hal tersebut diperparah dengan penerapan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Di sisi lain, daya beli masyarakat masih belum pulih secara optimal karena pemerintah mulai mencabut beberapa pos bantuan seperti misalnya subsidi gaji di awal tahun ini.
Yusuf melihat pemulihan ekonomi sepanjang tahun ini akan banyak dipengaruhi oleh dinamika penyebaran kasus Covid-19. Oleh karena itu, upaya penanganan dari sisi kesehatan sangat penting untuk diperhatikan.
"Proses Vaksinasi harus dipercepat plus yang tidak kalah penting meningkatkan kapasitas test, tracing dan isolasi serta punishment/enforcement kepada masyarakat yang tidak disiplin menerapkan protokoler kesehatan," ujar Yusuf.
Menurut Yusuf pertumbuhan ekonomi di kuartal II masih akan bergantung pada pertumbuhan konsumsi masyarakat. Selain konsumsi masyarakat, pertumbuhan realisasi belanja pemerintah juga akan ikut mendorong realisasi pertumbuhan positif di kuartal II.
"Hanya saja jika kami melihat target pertumbuhan untuk bisa tumbuh sampai dengan 6,9 persen akan relatif sulit, kami sendiri memproyeksikan pertumbuhan di kuartal II akan berada di level pertumbuhan 4 persen," tutur Yusuf.