REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --- Saat pandemi seperti sekarang, tidak jarang kita menemukan peluang untuk berbisnis. Salah satu alternatif berbisnis yang menjanjikan adalah berbisnis kuliner. Alasannya sederhana: semua orang tentu butuh makan. Meski begitu, merintis bisnis baru tentu bukan hal mudah. Terlebih untuk bisnis kuliner yang juga dilakoni oleh banyak pebisnis lain.
Namun, jangan kecil hati. Ada strategi untuk merintis bisnis kuliner dari Peter Shearer, CEO dan pendiri Wahyoo, sebuah perusahaan rintisan sosial yang berkembang sejak 2017.
Khusus untuk bisnis kuliner, Peter menekankan hal yang paling krusial adalah kualitas makanan. “Kalau nggak enak, jangan harapkan bisnis bisa naik. Pastikan makanan benar-benar enak, hingga bikin orang ketagihan,“ ujarnya dalam siaran pers yang diterima Republika, Selasa (27/4).
Begitupun, Peter mengingatkan bisnis tidak cukup diawali dengan minat kuat dan kemampuan memasak. Sebelum mulai bisnis, seorang pemula mesti sudah mengetahui dulu apakah produknya cocok dengan daerah tersebut serta seberapa besar pasar yang ia sasar.
Setelah tahap tersebut, ia juga harus melakukan pemetaan untuk memetakan siapa saja kompetitor yang sudah bermain di kolam tersebut. “Banyak yang mulai bisnis tanpa memperhitungkan potensi pasar dan strategi, akhirnya putus di tengah jalan. Karena itu, selain memastikan ada target yang memang mau mengonsumsi produk kita, pastikan juga bahwa mereka mau membayar untuk mendapatkannya,” ujarnya.
Lantas, bagaimana strategi bersaing dengan pesaing lain yang sudah eksis? Peter mengingatkan, bahkan pemilik bisnis sekelas Starbucks pun dulu pasti juga punya pertanyaan serupa saat mulai merintis bisnisnya. Karena itu, para pemula bisnis tidak perlu berkecil hati.
Untuk menghadapi persaingan, menurutnya, bisnis baru harus mampu menemukan apa yang menjadi pembeda dan hal yang unik dari kuliner yang kita sajikan. “Cari kekuatan kita, apakah ada di harga, kualitas produk, servis, apa saja yang bikin unik. Selain itu kita juga harus terbuka terhadap review dan masukan dari pelanggan. Tanyakan kepada customer ada masukan apa,” ujar pria yang memiliki pengalaman panjang di dunia periklanan tersebut.
Peter juga mencatat, konsumen Indonesia memiliki karakter khas yaitu suka dilayani dan diperhatikan. Oleh karena itu ia menyarankan agar selain terbuka dengan masukan pelanggan, kita juga ingat hal-hal sederhana seperti ingat nama mereka. “Walaupun sederhana, hal itu penting karena mereka merasa dihargai. Karena itu kalau perlu pembawaan Anda yang seru dan rame ini dijadikan semacam SOP karena mudah menarik pelanggan,” kata dia memberi saran.
Menjawab pertanyaan tentang masalah penurunan bisnis, Peter menegaskan program loyalitas atau kesetiaan pelanggan. Ini adalah salah satu kunci sukses semua usaha termasuk bisnis berbasis sosial (sociopreneurship).
“Seorang pengusaha memang harus ‘tergila-gila’ kepada pelanggannya. Sama seperti bisnis konvensional agar konsumen datang kembali untuk membeli, langkah selanjutnya adalah customer service satisfaction. Untuk itu, alangkah baiknya kita membuat sebuah program loyalty, apakah dengan sistem keanggotaan, point reward, cashback dan lain-lain,” kata dia.
Dalam kesempatan yang sama, Nadia Hasna Humaira, seorang penggiat sociopreneur sekaligus duta Padusi.id, media massa digital yang mengangkat tema seputar perempuan muda, modern, dan dinamis menyoroti juga pentingnya membangun sumber daya manusia saat seseorang membangun bisnis.
Menurut Nadia, pada dasarnya ketika membangun bisnis berarti dia juga sedang membangun orang. Ia juga menyatakan keyakinannya bahwa pada dasarnya sifat dasar manusia adalah saling menjaga.
“Saya sangat setuju dengan pernyataan Richard Branson bahwa jika Anda tidak membuat perbedaan dalam kehidupan orang lain, maka Anda tidak boleh berbisnis,” ujarnya menyitir ketegasan sang legenda bisnis yang banyak menjadi inspirator pebisnis dunia.