Selasa 13 Apr 2021 20:36 WIB

Harga Gas Khusus Industri Dinilai Rugikan PGN dan Investor

Harga jual gas dipatok 6 dolar AS, sedang komponen biaya realitasnya lebih tinggi

PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) yang juga berperan sebagai sub holding gas, setelah merealisasikan kebijakan penetapan harga gas sektor industri tertentu sebesar USD 6/MMBTU, optimis untuk mengembangkan infrastruktur dan layanan gas bumi dalam mendukung pertumbuhan industri di berbagai wilayah. Salah satunya adalah di wilayah Sumatera Bagian Utara sebagai wilayah yang telah menerima manfaat kebijakan sesuai Kepmen ESDM 89.K/2020 pada bulan Juni 2020.
Foto: istimewa
PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) yang juga berperan sebagai sub holding gas, setelah merealisasikan kebijakan penetapan harga gas sektor industri tertentu sebesar USD 6/MMBTU, optimis untuk mengembangkan infrastruktur dan layanan gas bumi dalam mendukung pertumbuhan industri di berbagai wilayah. Salah satunya adalah di wilayah Sumatera Bagian Utara sebagai wilayah yang telah menerima manfaat kebijakan sesuai Kepmen ESDM 89.K/2020 pada bulan Juni 2020.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Analis pasar modal menilai kinerja PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) yang memburuk selama 2020 selain dari penurunan konsumsi gas akibat pandemi Covid-19 juga dipengaruhi kebijakan penetapan harga gas bumi enam dolar AS per MMBTU kepada industri tertentu sejak April 2020.

"Masuk akal jika kerugian PGN akibat harga gas enam dolar AS per MMBTU bisa mencapai 100 juta dolar AS. Karena mayoritas pengguna gas PGN adalah penerima manfaat harga gas itu. Sementara pemerintah tidak memberikan insentif ataupun subsidi sesuai yang diamanatkan dalam regulasi. Situasi sangat merugikan PGN, termasuk investornya di pasar modal," jelas analis pasar modal dari Finvesol Consulting Fendi Susiyanto dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Selasa.

Fendi mengatakan dari kaca mata investor, salah satu hal penting yang menjadi dasar untuk mengambil keputusan investasi saham adalah melihat model bisnis (business model) dengan potensi margin yang menguntungkan. Hal itu menjadi faktor pendorong nilai perusahaan akan meningkat jangka panjang.

Secara model bisnis, lanjut Fendi, PGN sebenarnya merupakan emiten dengan fundamental dan prospek bisnis yang menarik. Sebagai inisiator dan pengembang infrastruktur gas bumi, PGN saat ini menguasai lebih dari 80 persen jaringan gas bumi di seluruh Indonesia. Namun dari total produksi gas nasional sebanyak 6.889 BBTUD, PGN mentransportasikan gas sebesar 1.930 BBTUD, sekitar 28 persen dan baru mengalirkan niaga gas sekitar 900 BBTUD atau sekitar 15 persen.

Sayangnya sebagai anak usaha BUMN, PGN mendapatkan perlakuan berbeda dibandingkan BUMN. Dengan komponen harga jual dipatok enam dolar AS, sementara komponen biaya realitasnya lebih tinggi. "Tanpa memperoleh subsidi maka kerugian sulit untuk dihindari," katanya.

Fendi mencontohkan perlakuan berbeda pemerintah terhadap PT PLN (Persero) yang mendapatkan subsidi listrik. Bahkan, sejak 2015 beberapa BUMN konstruksi mendapatkan suntikan dana melalui penyertaan modal negara (PMN) untuk mengembangkan berbagai infrastruktur. Sementara kepada PGN, yang selama ini mengembangkan infrastruktur gas bumi sebagai energi untuk mengurangi energi impor, tak ada bantuan dari pemerintah.

Menurut Fendi, jika alasannya sebagian saham PGN dimiliki asing, hal itu tidak masuk akal. Dikotomi asing dan nonasing ini tidak positif untuk mendorong pasar modal Indonesia semakin atraktif. Karena banyak BUMN yang mendapat PMN triliunan rupiah, sahamnya di pasar modal juga dikuasai oleh investor asing.

Secara umum, Fendi menghitung harga saham perusahaan berkode PGAS ini secara fundamental dari price to value bagus sekali. Namun, dari price to earning ratio justru negatif. Ini menunjukkan secara fundamental kuat, tapi ada dua faktor utama yang menjadi value destroyer bagi saham PGAS saat ini. 

Pertama, margin bisnis yang terbatas karena harga jual dipatok enam dolar AS. Kedua, adalah sengketa kasus putusan PPN gas bumi dengan DJP Kemenkeu. "Investor pasar modal menunggu kejelasan dari skema kompensasi bagi PGAS dari pemerintah. Hal ini sangat dibutuhkan untuk menjadi game changer atas kinerja keuangan perseroan ke depan," pungkas Fendi.

Sepanjang 2020 PGN mencatat kerugian bersih yang diatribusikan kepada pemilik entitas induk senilai 264,77 juta dolar AS atau sekitar Rp 3,84 triliun (1 dolar AS = Rp14.500). Kerugian itu terutama disebabkan oleh keputusan kasasi Mahkamah Agung (MA) atas sengketa pajak 2012-2013 yang menetapkan PGN harus membayar beban pajak sebesar 278,4 juta dolar AS. 

Beban besar lainnya adalah penurunan (impairment) aset minyak dan gas senilai 78,9 juta dolar AS. Direktur Keuangan PGN Arie Nobelta Kaban menjelaskan pada 2020 PGN membukukan pendapatan senilai 2,88 miliar dolar AS atau turun 25,02 persen dari realisasi pendapatan 2019 yang mencapai 3,85 miliar dolar AS.

Di tengah berbagai tekanan bisnis, PGN berhasil menurunkan biaya operasional atau opex sebesar 180,4 juta dolar AS. Manajemen juga berhasil memangkas pengeluaran modal (capital expenditure), salah satunya pada pembangunan pipa minyak Blok Rokan, sebesar 150 juta dolar AS atau setara dengan Rp 2,1 triliun.

"Posisi keuangan PGN cukup baik, dengan total aset sebesar 7,53 miliar dolar AS. Aset tersebut termasuk kas dan setara kas sebesar 1,18 miliar dolar AS," jelas Arie melalui rilis resmi perusahaan.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement