Jumat 02 Apr 2021 02:10 WIB

OJK: Digital Banking Butuh Aturan Adaptif

Pola transaksi masyarakat berubah dengan adanya pandemi.

Rep: Novita Intan/ Red: Satria K Yudha
Warga melakukan transaksi pembayaran berbasis digital dengan menggunakan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) saat peresmian digitalisasi Pasar Banyuasri di Buleleng, Bali, Selasa (30/3/2021). Pasar tradisional tersebut diresmikan sebagai pasar yang didigitalisasi dengan menyediakan sistem pembayaran non-tunai melalui QRIS, sistem e-retribusi serta fitur belanja dan pengiriman barang dengan ojek daring untuk meningkatkan daya saing pasar tradisional serta meminimalisir terjadinya kontak fisik guna mencegah penyebaran COVID-19.
Foto: ANTARA/Fikri Yusuf
Warga melakukan transaksi pembayaran berbasis digital dengan menggunakan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) saat peresmian digitalisasi Pasar Banyuasri di Buleleng, Bali, Selasa (30/3/2021). Pasar tradisional tersebut diresmikan sebagai pasar yang didigitalisasi dengan menyediakan sistem pembayaran non-tunai melalui QRIS, sistem e-retribusi serta fitur belanja dan pengiriman barang dengan ojek daring untuk meningkatkan daya saing pasar tradisional serta meminimalisir terjadinya kontak fisik guna mencegah penyebaran COVID-19.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tren perkembangan teknologi digital di tengah pandemi terus berkembang pesat, khususnya di bidang layanan perbankan. Pandemi Covid-19 yang telah menghantam Indonesia sejak tahun lalu mengubah pola sebagian besar masyarakat yang sebelumnya bersifat physical ekonomi menjadi virtual. Masyarakat banyak memanfaatkan layanan digital perbankan untuk melakukan transaksi keuangan agar tak tertular virus.

Deputi Komisioner Pengawas Perbankan I Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Teguh Supangkat mengatakan, alasan kesehatan di masa pandemi Covid-19 menjadi penyebab utama bergesernya pola transaksi masyarakat.  “Di masa pandemi ini kita juga melihat bahwa salah satu faktor yang memengaruhi keinginan masyarakat untuk menggunakan fasilitas tersebut karena alasan kesehatan dan menyebabkan terjadinya shifting behavior yang akan menggeser pola transaksi masyarakat yang sebelumnya bersifat physical menjadi virtual,” katanya dalam webinar "Peran Digital Banking dalam Percepatan Pemulihan Ekonomi", Kamis (1/4).

Direktur Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran Bank Indonesia (BI) Fitria Irmi Triswati mengatakan, ada tiga fakta digitalisasi keuangan yang patut dicermati. Pertama, yakni pergeseran pola transaksi masyarakat. Menurutnya, ini dibuktikan dengan peningkatan signifikan pada transaksi e-commerce, digital banking, dan uang elektronik terutama sejak adanya pandemi Covid-19.

Fakta kedua yakni berlanjutnya inovasi-inovasi baru yang dihasilkan oleh startup maupun fintech dan akselerasi transformasi digital, baik oleh pelaku bank, institusi keuangan nonbank maupun berbagai perusahaan. Kemudian, fakta ketiga adalah semakin kuatnya persepsi investor serta berlanjutnya aliran modal untuk startup maupun fintech. Hal ini dibuktikan dengan pertumbuhan pendanaan investor pada industri fintech yang cukup tinggi mencapai 2,19 miliar dolar AS atau tumbuh lebih dari dua kali lipat dari 2019.

"Masyarakat semakin terbiasa untuk melakukan transaksi secara digital di tengah terbatasnya aktivitas fisik. Digitalisasi tentu berperan untuk mengurangi hambatan struktural. Jadi diharapkan mampu mengurangi permasalahan struktural dan disparitas,” lanjutnya.

Namun, kata Teguh, peningkatan transaksi digital bukan hanya disebabkan pandemi, namun memang sudah menjadi suatu keniscayaan bagi bank untuk tetap dapat bertahan dalam kompetensi di industri jasa keuangan yang semakin ketat. “Sebagaimana diketahui perkembangan teknologi informasi pada dasarnya telah menjadi pembentuk bisnis perbankan dari masa ke masa diawali dengan teknologi yang hanya dimanfaatkan sebagai pembantu proses administrasi internal pada era bank 1.0 yang kemudian semakin berkembang pemanfaatannya dengan ditunjukkan dalam pelayanan kepada nasabah dengan penyedia online delivery channel pada era bank 3.0,” jelasnya.

Teguh menambahkan, dalam era 4.0 ini, bank juga dituntut semakin meningkatkan pemanfaatan teknologi informasi yang tidak hanya fokus pada pengembangan delivery channel, namun lebih menekankan kepada pengembangan utilitas atau fungsi bank dalam melayani kebutuhan nasabah dengan pemanfaatan teknologi dan juga pengetahuan terkini.

Untuk itu, OJK menargetkan segera menerbitkan aturan dalam bentuk Peraturan OJK (POJK) guna mendukung pengembangan bank digital di Tanah Air pada tahun ini. "Sebagai salah satu wujud dari strategi kebijakan OJK dalam mengakselerasi transformasi digital perbankan, OJK melakukan redesign pengaturan mengenai kelembagaan dan produk bank melalui RPOJK bank umum dan RPOJK produk bank yang rencananya insyaAllah akan diterbitkan pada tahun ini. Ini masih proses making rule dan sudah mendapat masukan dari publik. Kita sekarang sedang proses untuk pendalaman lebih lanjut masukan-masukan dari publik tersebut," jelas Teguh.

Meski demikian, diakui Teguh, dengan peningkatan transaksi secara online oleh masyarakat, pada akhirnya berdampak pada transaksi secara offline. Dari tahun ke tahun terjadi peningkatan yang signifikan atas beberapa penutupan jaringan kantor bank serta penurunan signifikan atas pembukaan ATM.

“Ini adalah beberapa hal yang terdampak karena peralihan dari situasi atau perilaku masyarakat yang ke arah digital atau sistem daring," ungkapnya.

Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani menilai, tantangan perbankan kedepan berkaitan dengan digital banking yang terbesar adalah sumber dana. Berdasarkan riset, ada perubahan perilaku kaum milenial yang lebih percaya untuk berinvestasi di reksa dana saham, dan obligasi.

Bahkan, ia menyebutkan kedepan transaksi perbankan hanya tinggal 55 persen, mengingat 45 persennya akan lari ke nonbank, baik itu asuransi, reksa dana atau obligasi saham. Aviliani berpendapat, bahkan bisa saja kedepan nasabah hanya menitipkan uang di bank untuk kemudian membeli saham. 

Tantangan sumber dana ini terkait kebutuhan investasi yang cukup besar untuk mempersiapkan digital banking hingga kolaborasi di dalam satu ekosistem. Ini mengingat konglomerasi perusahaan bank atau keuangan di Indonesia tercatat sebanyak 40 konglomerasi. 

"Saat ini bukan lagi era bersaing. Sebab tanpa kolaborasi, maka perbankan hanya akan merugi. Nah ini yang mulai banyak dilakukan oleh perusahaan. Oleh karena itu disini pemerintah juga harus membuat aturan baru. Ini menurut saya regulasi-regulasi harus disiapkan terkait dengan ekosistem yang akan terjadi," katanya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement