REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menyatakan, hampir semua negara mendorong warganya menggunakan produk buatan dalam negeri. Hanya saja tidak ada negara yang memakai diksi atau slogan membenci produk negara lain.
"Daripada pakai tagline 'benci produk asing' menggunakan tagline '100 persen produk Indonesia' atau 'Made in Indonesia 2024' lebih baik," ujar Peneliti Center of Industry, Trade, and Investment Indef Ahmad Heri Firdaus dalam konferensi pers virtual pada Senin (8/3).
Seperti diketahui, sebelumnya Presiden Joko Widodo mengampanyekan 'benci produk luar negeri' dalam pidatonya. "Kenapa presiden bilang begitu? Mungkin kalau kita bandingkan, terjadi e-commerce boom pada 2015, lalu terjadi peningkatan impor barang konsumsi cukup besar. Jauh lebih besar, walau porsinya masih di bawah 10 persen tapi naik signifikan setiap tahun dari 6 persen, 7 persen, sampai dekati 10 persen," jelasnya.
Ia melanjutkan, impor bahan masih kalah cepat dibandingkan pertumbuhan impor barang konsumsi. Terutama saat terjadi e-commerce boom.
Maka menurutnya, daya saing produk lokal harus ditingkatkan. Jika tidak, bisa terjadi deindustrialisasi di tengah digitalisasi dan liberalisasi seperti sekarang.
"Kalau daya saing produk lokal baik, digitalisasi akan memberikan lompatan berharga untuk pertumbuhan industri kita," ujar Ahmad Heri.
Ia menambahkan, banjirnya produk impor ke Indonesia merupakan konsekuensi berbagai keputusan pemerintah pada sektor perdagangan. "Kalau kita lihat dari peta rantai global supply jadi pertanyaan penting, beberapa implikasi yang pada akhirnya impor barang konsumsi semakin banjir, sehingga presiden keluarkan diksi itu (benci produk asing). Salah sendiri, kalau tidak mau berikan kebijakan impor, jangan ratifikasi perjanjian perdagangan bebas, karena konsekuensinya terima impor," tegas dia.