REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- PT Bank Central Asia Tbk mencatatkan laba bersih turun lima persen menjadi Rp 27,1 triliun sepanjang 2020. Hal ini disebabkan biaya pencadangan yang lebih tinggi untuk mengantisipasi potensi penurunan kualitas aset.
Direktur Utama BCA Jahja Setiaatmadja mengatakan perusahaan membukukan biaya pencadangan sebesar Rp 11,6 triliun, atau naik 152,3 persen secara tahunan. “Secara keseluruhan, laba bersih tercatat sebesar Rp 27,1 triliun, menurun lima persen dibandingkan laba bersih 2019 sebesar Rp 28,6 triliun,” ujarnya saat konferensi pers paparan kinerja BCA secara virtual, Senin (8/2).
Meskipun terdapat berbagai tantangan pada 2020, menurutnya, rasio kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR) sebesar 25,8 persen, lebih tinggi dari ketetapan regulator, dan loan to deposit ratio (LDR) sebesar 65,8 persen. Kemudian rasio kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL) sebesar 1,8 persen, dibandingkan 2019 sebesar 1,3 persen, didukung oleh relaksasi kebijakan restrukturisasi.
Normalisasi restrukturisasi kredit akan menjadi fokus BCA pada 2021. Sebagai tambahan, rasio pengembalian terhadap aset atau return on asset (ROA) sebesar 3,3 persen dan rasio pengembalian terhadap ekuitas atau return on equity (ROE) sebesar 16,5 persen sepanjang 2020.
“Segala tantangan pada 2020 telah membuktikan pentingnya fokus dan strategi perbankan untuk mengembangkan platform digital, yang mana secara khusus telah membuat BCA siap menghadapi kondisi yang ditimbulkan oleh pandemi Covid-19, termasuk dampaknya pada pembatasan sosial dan mobilitas,” ucapnya.