REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar menyebut sektor kelistrikan menyumbang emisi gas rumah kaca lebih besar dari pada yang dihasilkan sektor kehutanan. Ia menjelaskan per 2018 sektor kehutanan menjadi komponen penting dalam pencapaian target pengurangan emisi nasional atau nationally determined contribution (NDC) dengan produksi sebanyak 2,8 giga ton.
Dari target mitigasi sektor kehutanan sebesar 17,2 persen, KLHK sudah menurunkan emisi GRK sampai 70 persen. Sedangkan dari sektor energi yang di dalamnya ada aktivitas listrik, menurut Siti emisi gas rumah kacanya mencapai 314 juta ton baru mencapai baru 19 persen dari business as usual.
"Dari 2015 hingga 2018 emisi gas kaca justru paling banyak dari listrik. Sementara dari sektor kehutanan menurun," kata Siti.
Karena itu, dia meminta Arifin Tasrif untuk menaikkan bauran energi baru dan terbarukan (EBT) dalam bauran energi nasional menjadi 50 persen di 2050. Dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) saat ini, Kementerian ESDM menargetkan bauran EBT di 2050 sekitar 31 persen yang menurut Siti terlalu rendah jika mau mengurangi emisi karbon di langit Indonesia.
"Kalau kita lihat Pak Menteri bauran energi 31 persen ini, kalau boleh ambisikan lagi di 2050 bisa naik 50 persen. Lalu, pada 2070 bisa net zero emissions," kata Siti.
Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Surya Darma mengatakan salah satu jalan untuk menyelamatkan ketahanan energi nasional adalah mendorong sekuat-kuatnya penggunaan energi baru dan terbarukan (EBT) dalam bauran energi nasional. Indonesia memiliki banyak sumber EBT mulai dari angin, matahari, air, hingga biomassa.
Sayangnya, upaya untuk meningkatkan bauran EBT hingga saat ini masih rendah kurang dari 10 persen. Padahal, pemerintah sendiri yang menargetkan bauran EBT 23 persen di 2025. Artinya masih ada 13 persen yang belum tercapai untuk sisa lima tahun.
Untuk bisa mendorong pembangkit listrik EBT, perlu peran swasta sebab biaya membangun EBT masih mahal. Surya menyebut sampai 2025, Indonesia masih membutuhkan Rp 1.500 triliun lagi. Sementara dana APBN hanya Rp 2.300 triliun.
"Bagaimana mungkin bisa dipenuhi sendiri? Karena peran swasta harus didorong. Untuk penuhi itu perlu sebuah kepastian, kepastian sisi regulasi dan perizinan usaha, dan berikan daya tarik ke penyandang dana," ujar Surya.