REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan pemerintah harus segera bertindak untuk mengamankan pasokan kedelai impor dan memastikan tata niaga kedelai di dalam negeri tidak ada permainan untuk spekulasi harga atau menahan pasokan di pasar. Hal ini harus cepat dilakukan untuk mengembalikan harga kedelai seperti sedia kala.
"Menteri Perdagangan bisa kontak negara produsen kedelai untuk buat perjanjian secara bilateral. Cek juga pasokan kedelai impor dan dalam negeri seperti apa. Jangan sampai situasi naiknya harga kedelai dimanfaatkan oleh para spekulan dengan tahan stok impor," katanya saat dihubungi Republika.co.id, Senin (4/1).
Ada sejumlah faktor yang membuat kenaikan harga kedelai bisa terjadi. Misalnya, pasokan yang terbatas dari Argentina dan Brasil disebabkan oleh faktor cuaca, stok Amerika Serikat (AS) yang juga terus menipis. Sementara dari sisi permintaan, terjadi kenaikan yang signifikan dari China paska pemulihan ekonomi dari Covid-19.
China menguasai 64 persen dari total permintaan kedelai global. Ketika ekonomi pulih, daya beli masyarakat China membaik permintaan kedelai impor juga tinggi. Kedelai banyak digunakan di China untuk pakan ternak.
Lalu, kenaikan harga bahan baku tempe dan tahu tentu akan memukul kelas menengah ke bawah di Indonesia. Pasalnya, tempe dan tahu jadi kebutuhan protein penting. Apalagi dalam kondisi resesi ekonomi dan angka kemiskinan yang naik.
"Biasanya mereka membeli telur, ayam dan daging sapi bergeser untuk membeli tempe dan tahu. Kalau sampai naik tinggi harganya di pasaran dan produsen tempe dan tahu berhenti produksi itu sangat berisiko bagi ekonomi masyarakat," kata dia.
Maka dari itu, pemerintah harus memiliki langkah jangka panjang. Ini penting untuk mendorong produktivitas dan luasan lahan kedelai dalam negeri. Masalah naiknya harga kedelai jadi pelajaran penting, dalam jangka panjang ketergantungan terhadap kedelai impor harus dikurangi signifikan.
"Bantuan pemerintah dan inovasi pangan jangan hanya fokus ke beras tapi juga kedelai lokal. Sehingga tidak ada lagi nanti kenaikan harga kedelai seperti ini," kata dia.
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, kenaikan harga kedelai impor telah memberikan kontribusi pada inflasi tahu dan tempe pada bulan lalu. Masing-masing mengalami inflasi 0,06 persen dan 0,05 persen secara bulanan (month to month/mtm)
Sebelumnya, data Kementerian Perdagangan menyebutkan, harga kedelai impor di tingkat perajin mengalami penyesuaian dari Rp 9.000 per kilogram pada November menjadi Rp 9.300 hingga Rp 9.500 per kilogram pada Desember. Artinya, terjadi kenaikan 3,33 persen sampai 5,56 persen.
Dampaknya, harga tahu dan tempe pun mengalami penyesuaian. “Namun demikian, kedua komoditas memberikan andil sangat kecil terhadap inflasi nasional," tutur Deputi Bidang Statistik, Distribusi dan Jasa BPS Setianto dalam konferensi pers virtual pada Senin (4/1).