REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat energi Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengatakan dengan kondisi harga gas yang murah dan diikuti oleh adanya ketidakjelasan pasar akan membuat tingkat return of investment (ROI) dari sebuah proyek pembangunan infrastruktur gas bumi menjadi lebih lama.
"Sebab, ya itu tadi, semakin rendah harga gas, maka semakin tipis margin yang bisa didapat pengembang. Ini yang akan menyulitkan pelaku usaha sulit membangun infrastruktur baru," katanya di Jakarta, Sabtu (30/11).
Menurutnya, penurunan harga gas di tengah masa pandemi virus corona belum memberikan dampak signifikan bagi industri pengguna. Sebab, penurunan harga gas itu tidak mendongkrak volume produksi maupun penjualan industri pengguna gas."Tujuan penurunan harga gas memang baik bagi industri, tapi momentumnya tidak dapat," imbuh Komaidi.
Menurutnya, penurunan harga gas yang diinisiasi pemerintah lewat Kementerian ESDM belum tepat. Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi.
Dalam perpres tersebut, pemerintah menetapkan harga gas bumi yang sebelumnya tujuh dolar AS per juta britishthermalunit (MMBTU) diturunkan menjadi enam dolar AS per MMBTU.
Pada 6 April 2020, Menteri ESDM merilis Peraturan Menteri ESDM No 8 Tahun 2020 tentang Cara Penetapan Pengguna dan Harga Gas Bumi Tertentu di Bidang Industri.
Pasal 3 ayat 1 peraturan itu mengatur harga gas bumi tertentu di titik serah pengguna gas bumi (plant gate) ditetapkan sebesar enamdolar AS per MMBTU.
Ada tujuh sektor industri yang dapat harga khusus dari kebijakan tersebut, yakni pupuk, petrokimia, oleochemical, baja, keramik, kaca, dan industri sarung tangan karet.
Sebagai dampak kebijakan itu, bagian pemerintah dari penjualan migas di hulu dipangkas sekitar dua dolar AS per MMBTU. Menurut Komaidi, kebijakan pemerintah memangkas harga gas bumi untuk industri tertentu di level 6 dolar per MMBTU bisa jadi bumerang jika tidak didukung insentif bagi pengembang infrastruktur gas bumi.
Karena, dengan margin yang terbatas, perusahaan akan lebih memilih risiko terendah, yaitu mengelola infrastruktur yang sudah jelas pasokan dan pasarnya. Komaidi menambahkan akan sangat berat jika memaksa perusahaan yang marginnya dipangkas oleh kebijakan pemerintah untuk membangun infrastruktur gas bumi.
Kecuali, ada insentif yang memberikan solusi bagi pengembang infrastruktur bahwa bisnis mereka tetap sehat ketika ekspansi."Kalau investor melihat investasi di tempat lain, misalnya, bisa dapat IRR 12 persen, sementara di infrastruktur gas bumi IRR-nya lebih rendah, maka tidak akan ada investor yang mau berinvestasi untuk mengembangkan infrastruktur gas," papar dia.
Dengan melambatnya pengembangan infrastruktur gas, pada akhirnya target pemerintah untuk meningkatkan pemanfaatan gas bumi domestik sulit terealisasi karena infrastrukturnya tidak tumbuh.
Pembangunan infrastruktur gas bumi memang memiliki risiko yang besar. Selain faktor ketersediaan pasokan, penyerapan gas oleh konsumen juga menjadi risiko bagi pengembang infrastruktur gas bumi. Sementara, biaya pembangunan infrastruktur gas sangat mahal.
Banyak infrastruktur gas yang telah dibangun gagal dioptimalkan karena tidak adanya pasokan dan pasar yang seimbang. Kemudian, yang terjadi kemudian pengembang infrastruktur gas harus menanggung biaya yang mahal.
Kondisi ini yang membuat sedikit sekali perusahaan swasta yang mau membangun infrastruktur gas bumi. Di sisi lain, menurut Komaidi, kebijakan harga gas enam dolar AS terbukti menguntungkan sejumlah perusahaan swasta.
Perusahaan keramik yang melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) melaporkan kenaikan laba bersihnya sejak harga baru gas bumi itu diterapkan. Misalnya, laba bersih PT Arwana Citramulia Tbk (ARNA) pada kuartal III 2020 naik 38,31 persen menjadi Rp 221,5 miliar dibandingkan periode sama 2019, sementara hingga kuartal III 2020, naik 38,31 persen secara tahunan.
Kenaikan laba itu terjadi saat pendapatan turun 1,1 persen menjadi Rp1,61 triliun. Pengatrol utamanya adalah terpangkasnya beban pokok penjualan sebesar 6,6 persen menjadi Rp 1,12 triliun.
Sementara itu, PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) sebagai subholding gas PT Pertamina (Persero) membukukan pendapatan sebesar 2,151 miliar dolar AS atau sekitar Rp 31,51 triliun pada kuartal III 2020.
Pendapatan tersebut sebagian besar berasal dari kinerja operasional penjualan gas, sehingga PGN konsolidasi mencatat laba operasi sebesar 315,49 juta dolar AS dan EBITDA sebesar 601,91 juta dolar AS.