Jumat 27 Nov 2020 14:29 WIB

Volatilitas Arus Modal Butuh Respons Kebijakan Tepat

Volatilitas aliran modal tingkatkan tekanan nilai tukar yang pengaruhi stabilitas.

Rep: Lida Puspaningtyas/ Red: Friska Yolandha
Laporan Capital Flows, Exchange Rate, and Policy Frameworks in Emerging Asia menyebut besarnya likuiditas global merupakan faktor utama yang mendorong kenaikan aliran modal ke negara-negara berkembang. Selain itu juga ada faktor prospek pertumbuhan yang lebih baik, serta kebijakan lalu lintas modal yang kondusif di sejumlah negara berkembang.
Foto: Antara/Kornelis Kaha
Laporan Capital Flows, Exchange Rate, and Policy Frameworks in Emerging Asia menyebut besarnya likuiditas global merupakan faktor utama yang mendorong kenaikan aliran modal ke negara-negara berkembang. Selain itu juga ada faktor prospek pertumbuhan yang lebih baik, serta kebijakan lalu lintas modal yang kondusif di sejumlah negara berkembang.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Laporan Capital Flows, Exchange Rate, and Policy Frameworks in Emerging Asia menyebut besarnya likuiditas global merupakan faktor utama yang mendorong kenaikan aliran modal ke negara-negara berkembang. Selain itu juga ada faktor prospek pertumbuhan yang lebih baik, serta kebijakan lalu lintas modal yang kondusif di sejumlah negara berkembang.

Laporan tersebut merupakan hasil kajian yang dilakukan oleh sebuah tim kerja beranggotakan 12 bank sentral anggota Bank for International Settlements (BIS) Asian Consultative Council, termasuk Bank Indonesia. Laporan diterbitkan pada hari ini, Jumat (27/11).

Di dalamnya tertulis volatilitas aliran modal berpotensi meningkatkan volatilitas dan tekanan terhadap nilai tukar, dan pada akhirnya dapat mempengaruhi stabilitas moneter dan sistem keuangan. Dalam merumuskan respons kebijakan yang tepat untuk mengatasi volatilitas aliran modal dan nilai tukar, bank sentral pada umumnya melakukan monitoring terhadap likuiditas valuta asing.

Termasuk di antaranya mengamati kecepatan perubahan nilai tukar serta pengaruh aliran modal terhadap harga aset, untuk menjamin pasar keuangan tetap berfungsi dengan baik. Untuk menjaga stabilitas eksternal, beberapa bank sentral melakukan intervensi di pasar valuta asing apabila terjadi volatilitas nilai tukar yang berlebihan.

"Sementara itu, jumlah bank sentral yang menerapkan kebijakan makroprudensial untuk menjaga kestabilan sistem keuangan juga mulai mengalami kenaikan," katanya.

Sejalan dengan meningkatnya volatilitas aliran modal dan nilai tukar di negara-negara berkembang, BIS mengkoordinasikan penyusunan kajian tersebut. Guna melihat penggunaan kebijakan moneter, makroprudensial, nilai tukar, dan manajemen aliran modal dalam mengatasi dampak kenaikan volatilitas aliran modal terhadap stabilitas nilai tukar.

Pandemi Covid-19 juga menjadi stress test bagi kerangka kebijakan bank sentral saat ini. Selain menerapkan berbagai kebijakan konvensional, bank sentral di kawasan Asia Pasifik juga menempuh kebijakan yang tidak biasa atau unconventional untuk memitigasi dampak krisis, menjamin kecukupan likuiditas di pasar keuangan, dan merelaksasi pengaturan sehingga tidak terjadi negative feedback loops antara sektor riil dan sektor keuangan.

"Dalam hal ini, koordinasi dan kerja sama yang erat antara Bank Sentral dan Pemerintah merupakan kunci dari efektivitas respons kebijakan dalam mengatasi krisis," katanya. 

ACC sendiri beranggotakan 12 bank sentral di kawasan Asia-Pasifik, yaitu Australia, China, Hong Kong SAR, India, Indonesia, Japan, Korea, Malaysia, New Zealand, Filipina, Singapura, dan Thailand.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement