REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Instruksi Presiden Joko Widodo kepada kementerian/lembaga, BUMN, dan pemda untuk memprioritaskan penyerapan produk lokal dinilai belum berjalan efektif. Produk dalam negeri masih tetap menjadi anak tiri dalam pengadaan barang oleh berbagai instansi.
Sebagian besar produk dalam negeri masih terganjal oleh regulasi spesifikasi, patokan harga, dan berbagai aturan yang tak mampu dipenuhi industri nasional dalam waktu singkat.
Demikian benang merah yang disampaikan Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Industri, Johnny Darmawan, Ketua Apindo, Anton J Supit, pengamat industri Jodjana Jodi, dan Wakil Ketua DPR Koordinator Industri dan Pembangunan Rachmat Gobel. Disengaja atau tidak, menurut mereka, ada celah yang dibuat pada aturan pengadaan barang pemerintah dan BUMN, dan ini dimanfaatkan pihak tertentu, sehingga produk dalam negeri menjadi termaginalkan. “Kondisi ini sebetulnya bukan masalah baru. Fakta ini sudah menjadi problem menahun dan telah diketahui secara detail oleh Presiden Jokowi dan para pembantunya,” kata Johnny.
Sebenarnya, lanjut dia, instruksi Presiden untuk memakai produk industri dalam negeri dalam pengadaan barang pemerintah dan BUMN, mempunyai tujuan mulia, agar mereka berkembang dan mempunyai struktur yang kuat dalam menghadapi persaingan ke depan. Namun sayangnya, tujuan itu belum tercapai, karena preferensi tersebut tidak dijalankan dengan baik.
“Pelaksana lelang sering membuat spesifikasi tidak sesuai dengan instruksi Presiden. Bahkan spesifikasi yang dibuat, cenderung berpihak kepada produk impor,” katanya.
Menurut Johnny, perlu langkah nyata dan tegas dari Presiden untuk membenahi sistem pelaksanaan lelang pengadaan barang pemerintah dan BUMN. Jika tidak, tujuan untuk memperkuat industri nasional melalui skema preferensi itu menjadi sia-sia.
Dampak negatif
Sementara, Ketua Apindo, Anton J Supit, menilai, belum ada keseriusan, terutama di level birokrasi sebagai pelaksana di lapangan untuk memberdayakan industri dalam negeri dengan memberi ruang dan pasar yang lebih besar melalui pengadaan barang.
“Butuh gebrakan nyata Presiden untuk memecahkan masalah laten itu. Jika tidak, dikhawatirkan instruksi presiden selama ini hanya akan menjadi kebijakan di atas kertas, dan ini akan berdampak negatif terhadap perkembangan ekonomi dan pembangunan Indonesia, khususnya industri unggulan dalam jangka panjang,” kata Anton.
Pengamat industri Jodjana Jodi mengakui, roadmap memang sangat penting bagi pengembangan industri agar pelaku usaha mempunyai arah yang jelas. Untuk sebagian industri, roadmap sudah ada, tinggal bagaimana melaksanakannya secara konsiten dengan memperhatikan perkembangan yang ada.
Menanggapi pernyataan itu, Rachmat Gobel mengatakan, pihaknya menanggapi serius masukan yang disampaikan oleh pakar dan pelaku industri itu. “Persoalan ini harus dibicarakan secara intensif dengan pemerintah maupun BUMN untuk menemukan jalan keluar yang lebih efektif, agar upaya pemulihan ekonomi bisa lebih cepat di lakukan,” katanya.
Disebutkan, perlu dicari apa yang menjadi kesulitan kementerian/lembaga, maupun BUMN melaksanakan instruksi Presiden untuk memberi preferensi pada produk industri domestik. Apakah karena persoalan teknis, persoalan kontrak yang sudah terjadi sejak lama, ataukah produk lokal memang tidak bisa mendapat peran penting dalam berbagai proyek strategis dan infrastrukur pemerintah?
“Tanpa ada keberpihakan untuk menyelamatkan dan menyerap produk dalam negeri jelas peningkatan kandungan lokal dan pendalaman industri tidak akan terjadi. Sampai kapan pun kita akan mengalami ketergantungan pada produk impor,” kata Rachmat.