REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Ketua Tani Center LPPM IPB University, Hermanu Triwidodo, meminta agar kebijakan dan sistem pangan nasional didorong dari kepentingan petani sebagai subjek pembangunan penyediaan pangan nasional dan bukan sebatas objek.
Ia mengatakan, perubahan sistem dan kebijakan pangan harus menempatkan petani kepada posisi yang baik. "Pemerintah harus lebih sensitif merasakan apa yang dibutuhkan petani, bukdan dengan pikiran pemerintah itu sendiri yang justru jauh dari realitas petani," kata Hermanu dalam konferensi pers virtual Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Kamis (15/10).
Hermanu menilai, disaat terjadi masalah pertanian, solusi yang diberikan pemerintah maupun dari lembaga advokasi seringkali tidak memecahkan masalah. Hal itu karena kurangnya menempatkan petani sebagai pihak yang paling menentukan penyediaan pangan nasional.
Pihaknya juga mendorong agar terdapat program-program yang dapat memacu kegiatan usaha tani pada level hilir. Konsep-konsep korporasi petani yang saat ini terus digaungkan sudah cukup baik. Namun, ia meminta agar esensi dari keberadaan petani tidak dihilangkan."Jangan lupa petani tetap perlu tanah untuk bisa hidup. Boleh ada korporasi dan semacamnya tapi petaninya sendiri jangan sampai hilang," ujarnya.
Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Said Abdullah mengatakan hal senada. Ia menilai pada masa pandemi saat ini, pemerintah sudah membuat banyak program. Namun, masih terdapat sejumlah kebijakan yang justru tidak menjawab kebutuhan petani tu sendiri.
Misalnya, seperti kebijakan untuk mendorong anak muda bertani dan berkolaborasi yang belum terlihat oleh publik. Contoh lain, proyek food estate yang justru akan dikelola oleh militer, bukan oleh petani. "Jangan memperberat situasi," ujarnya.
Ia pun menambahkan, perlunya pembenahan sistem pangan nasional agar lebih tahan terhadap berbagai guncangan. Koordinator Nasional KRKP, Said Abdullah, mengatakan, pandemi Covid-19 telah memperlihatkan bahwa sistem pangan yang ada masih sangat rentan. "Pandemi memberikan pelajaran karena menampilkan wajah sistem pangan yang sangat rentan, tidak tahan terhadap guncangan, dan belum berkeadilan," kata Said.
Ia menjelaskan, rentannya sistem pangan nasional karena masih besarnya ketergantungan kepada sistem pangan global. Situasi tersebut dikendalikan oleh korporasi dan pemburu rente. Ketergantungan pangan impor cukup besar meskipun memiliki banyak sumber daya yang melimpah. "Ketika dihadapkan pada kenyataan sistem pangan yang ada, shock luar biasa terjadi dan kalangkabut luar biasa," kata Said.
Lebih lanjut ia menjelaskan, rentannya sistem pangan nasional membuka ruang yang lebar kepada kelompok-kelompok pemburu rente. Hal itu salah satunya terlihat saat adanya kebijakan relaksasi perizinan impor bawang putih yang akhirnya dimanfaatkan pihak-pihak tertentu untuk meraup keuntungan.