REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Para pengusaha smelter nikel meminta pemerintah untuk memberikan tenggat waktu lebih panjang untuk pemberlakuan Harga Patokan Mineral (HPM).
CEO PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) Alexander Barus mengatakan, para pengusaha smleter sebenarnya tak keberatan atas kebijakan tersebut. Hanya saja, ia meminta agar aturan tersebut tak serta merta diberlakukan.
"Di dalam negeri ada HPM, kami bukan tidak setuju, kami tidak menolak HPM. Tapi berilah kami nafas kenaikan tidak 10 dolar AS per metrik ton," ujar dia dalam diskusi secara virtual, kemarin.
Selain itu, Alexander juga bercerita mengenai sulitnya membangun smelter nikel di Morowali pada mulanya. Dimulai dari akses lokasi yang sangat sulit, pasokan listrik yang belum memadai, hingga regulasi yang berubah-ubah.
Menurutnya ketidakkonsistenan pemerintah dalam membuka tutup keran ekspor bijih nikel pernah diungkapkan oleh investor dari China. Namun, setelah mendapat kepastian bahwa bijih nikel tak akan diekspor lagi, investor dari negeri tirai bambu tersebut pun datang untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Setelah itu pembangunan smleter dimulai.
IMIP pun mulai menggenjot pengembangan SDA di Indonesia. Salah satunya dengan cara mengirimkan tenaga kerja lokal ke China untuk belajar mengoperasikan smleter nikel.
Sejumlah 80 orang dikirim untuk mendapatkan pelatihan di sana. Sementara pembagunan awal pabrik nikel dimulai pada 2014 dengan kapasitas 300 ribu nikel pig iron.
"Kami ditugaskan untuk mengelola kawasan industri ini. Pertama yang kami lakukan adalah kirim orang ke China untuk belajar pengolahan dan operasi smelter nikel," ujarnya.