Kamis 08 Oct 2020 07:43 WIB

Dicari Pemimpin Bertanggung Jawab Saat Pandemi

Pemimpin yang bertanggung jawab menjadi faktor penting penanganan pandemi Covid-19.

Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto (kanan) berbincang dengan anggota Komisi IX DPR sebelum mengikuti Rapat Dengar Pandapat di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (27/8/2020). RDP tersebut membahas efektivitas pengorganisasian dan penganggaran dalam penanganan COVID-19, termasuk perkembangan tentang uji vaksin untuk COVID-19.
Foto: ANTARA/Puspa Perwitasari
Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto (kanan) berbincang dengan anggota Komisi IX DPR sebelum mengikuti Rapat Dengar Pandapat di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (27/8/2020). RDP tersebut membahas efektivitas pengorganisasian dan penganggaran dalam penanganan COVID-19, termasuk perkembangan tentang uji vaksin untuk COVID-19.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Nura Aini*

Pandemi Covid-19 menjangkiti hampir seluruh negara di dunia. Penanganan pandemi Covid-19 di sejumlah negara diakui lebih baik dibandingkan dengan yang lain. Namun, ada juga negara yang sejak pandemi Covid-19 di awal 2020 merebak hingga kini terus mencatat kenaikan kasus. Apa yang menjadi faktor utama negara-negara bisa mengendalikan Covid-19 tetapi negara lainnya justru kewalahan?

Selandia Baru dan Jerman kerap menjadi contoh negara yang memiliki penanganan pandemi lebih baik diukur dari rendahnya jumlah kasus dan kematian akibat Covid-19. Ada juga negara yang sejak Covid-19 menyebar di awal 2020 hampir kewalahan dengan tingginya kasus yaitu Italia dan AS. Sementara, AS masih menjadi negara dengan kasus Covid-19 tertinggi di dunia, pada perkembangan selanjutnya Italia ternyata mampu lolos dari ancaman gelombang kedua wabah. Italia kini telah menikmati kembali aktivitas ekonomi selama empat bulan tanpa menimbulkan lonjakan kasus atau kematian akibat Covid-19.

Gelombang kedua penularan Covid-19 diidentifikasi saat kasus menurun untuk beberapa waktu, tetapi kemudian muncul klaster baru. Korea Selatan mengalami kondisi tersebut saat klaster baru penularan Covid-19 muncul di ibu kota Seoul pada Agustus dari gereja dan kedai kopi. Akan tetapi, Korsel mampu keluar dari gelombang kedua penularan Covid-19 hanya dalam kurun tiga pekan.

Pemerintah Italia dan Korsel memiliki cara masing-masing untuk mengendalikan kasus Covid-19. Metode pelacakan dan pemeriksaan yang masif menjadi kunci pengendalian Covid-19 di Italia. Pemeriksaan terhadap semua orang di sekitar pasien positif Covid-19, baik mereka kontak atau tidak, dilakukan dan berhasil mendeteksi kasus tanpa gejala. Metode pelacakan yang luas itu juga mampu mencegah penyebaran Covid-19 lebih lanjut. Kebijakan itu mendukung kepatuhan warga memakai masker dan jaga jarak untuk menekan penyebaran menjadi rata-rata 36,6 kasus baru terhadap 100 ribu populasi pada akhir September.

Sementara, dari catatan Reuters, Korsel mengandalkan peraturan pembatasan sosial yang ketat untuk menekan kasus Covid-19. Korsel membatasi jam operasional tempat makan di pusat penyebaran kota Seoul. Jam malam diberlakukan dengan larangan makan di luar setelah pukul 21.00. Kedai kopi dan toko roti juga dibatasi melakukan pengiriman. Hasilnya, dalam tiga pekan, Korsel mampu mencatatkan kasus infeksi terendah.

Pengalaman berbagai negara yang berhasil sejak awal maupun yang berpengalaman  kewalahan lebih dahulu tetapi kemudian mampu mengendalikan kasus Covid-19 memperlihatkan adanya kualitas pemimpin atau kepemimpinan. Hal itu terlihat dari munculnya kebijakan yang fokus menangani kasus Covid-19, bukan hanya mengandalkan kepatuhan warga dalam memakai masker dan menjaga jarak. Kebijakan tersebut juga dilaksanakan secara masif dan ketat sehingga dalam waktu relatif singkat berhasil menurunkan kurva penularan Covid-19.

Pemimpin yang bertanggung jawab diakui PBB menjadi faktor penting dalam penanganan pandemi Covid-19. Sekretaris Jenderal PBB Antonio Gutterres dalam salah satu rilis UN News, menekankan kepemimpinan yang bertanggung jawab dengan menyinggung pentingnya percaya pada sains. Informasi yang salah ditegaskannya akan membunuh. Oleh karena itu, kerja sama dan solidaritas menjadi tumpuan untuk menangani pandemi Covid-19.

Dari pengalaman negara yang mampu menekan kurva penularan (flatten the curve) tersebut, masyarakat Indonesia kemudian dapat mempertanyakan apakah kebijakan pemimpin negara ini fokus menangani kasus Covid-19? Apakah kebijakan yang muncul untuk menangani Covid-19 seperti tes dan pelacakan sudah dilakukan secara masif?

Dalam beberapa waktu terakhir, kebijakan yang lebih banyak muncul adalah bagaimana upaya untuk menyelamatkan ekonomi. Kebijakan itu mulai dari kartu pra-kerja, kenaikan iuran BPJS Kesehatan, perubahan peraturan kebijakan keuangan negara, subsidi gaji, dan lainnya. Hal itu tidak mengherankan karena perspektif pemerintah: menyeimbangkan antara aspek kesehatan dan ekonomi.

Kebijakan kesehatan yang lebih banyak muncul adalah sanksi kepada warga yang tidak mengenakan masker atau jaga jarak. Operasi masker lebih marak ketimbang tes dan pelacakan terduga orang dengan Covid-19. Kebijakan kesehatan lainnya sunyi, senyap seperti kinerja Menteri Kesehatan. Kepercayaan terhadap vaksin Covid-19 yang belum terbukti kadung terlalu besar. Sehingga uji coba dan pemesanan calon vaksin lebih besar dari upaya memperketat tes Covid-19.

Sementara, DPR juga sibuk mengurusi RUU Cipta Kerja yang diklaim untuk pemulihan ekonomi pandemi. Namun, apa yang terjadi? Kurva penularan Covid-19 terus naik, ekonomi resesi. Kesehatan tidak dapat, ekonomi pun terpuruk. Kalau sudah begitu, pertanyaannya kemudian, apakah pemimpin ini benar bertanggung jawab kepada rakyat?

*) Penulis adalah jurnalis republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement