Jumat 02 Oct 2020 08:45 WIB

Harga Minyak Dunia Jatuh: Bagaimana Nasib Ekonomi Indonesia?

Kejatuhan harga minyak terjadi saat meningkatnya pandemi Covid-10 di seluruh dunia

Petugas SPBU mengisi bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi di SPBU Kuningan, Jakarta , Selasa (24/3). PT Pertamina (Persero) membuka ruang penurunan harga BBM non subsidi pada bulan ini bila pelemahan harga minyak mentah dunia berlanjut
Foto: Prayogi/Republika
Petugas SPBU mengisi bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi di SPBU Kuningan, Jakarta , Selasa (24/3). PT Pertamina (Persero) membuka ruang penurunan harga BBM non subsidi pada bulan ini bila pelemahan harga minyak mentah dunia berlanjut

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Situasi pandemi COVID-10 yang melanda dunia terus membuat masalah bagi ekonomi. Kali ini yang jadi imbasnya adalah pada mersotnya kembali harga minyak.

''Jadi ini juga akan berimbas pada pemulihan ekonomi Indonesia. Tapi kita harus terus picu eskpor kita karena harga minyak jatuh. Dan kini sadar sepenuhnya waktu penyelesaian krisis ekonomi akan semakin bertambah panjang,'' kata ekonom Anthony Budiawan dari lembaga kajian Managing Director Political Economy and Policy Studies, Jumat (2/9).

Menurut Anthoni yang juga mantan rektor Kwik Kian Gie Business School, kejatuhan kembali harga minya dunia ini jelas akan berhubungan dengan harga BBM Indonesia di mana mau tidak mau harga BBM harus turun. Bahkan seharusnya sudha diturunkan sejak Maret lalu. Ini karena aturan undang-undang menyatakan bahwa naik-turunnya atau harga acuan BBM di dalam negeri harus mengacu pada harga minyak  Internasional.

"Tapi penurunan harga BBM akan terjadi bisa kita lihat nanti. Yang jelas rakyat seperti sudah diam saja seperti pasrah saja. Mereka terlihat tanpa daya meski sebenarnya saat ini rakyat telah memberi subsidi kepada negara. Dan menurut hitungan saya subsidi rakyat melalui harga BBM yang dikelola Pertamina itu sudah mencapai sekitar 28 triliun,'' katanya.

Seperti diketahui, harga minyak di pasar global hari ini jatuh di atas tiga persen. Ini diketahui dengan mengacu pada akhir perdagangan harga minyak pada Kamis (1/10) atau Jumat (2/10) pagi WIB. Kejatuhan harga minyak ini terjadi saat meningkatnya kasus virus corona di seluruh dunia mengurangi prospek permintaan, dan kenaikan produksi OPEC bulan lalu.

Minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman Desember merosot 1,37 dolar AS atau 3,2 persen, menjadi menetap di 40,93 dolar AS per barel setelah turun ke level terendah 39,92 dolar AS.

Sementara itu, minyak mentah berjangka AS, West Texas Intermediate (WTI), berakhir jatuh 1,50 dolar AS atau 3,7 persen menjadi 38,72 dolar AS setelah tergelincir lebih dari enam persen ke terendah sesi 37,61 dolar AS per barel.

"Telah terbukti bahwa virus tersebut belum dapat dibendung. Tingkat infeksi meningkat, angka kematian global telah melampaui angka satu juta dan dunia kembali menjadi tempat yang suram," kata analis PVM Oil, Tamas Varga.

Di Amerika Serikat saja, pandemi telah menginfeksi lebih dari 7,2 juta dan membunuh lebih dari 206.000 orang.

Pusat Covid-19 terburuk di Eropa, Madrid, akan diisolasi dalam beberapa hari mendatang dan wali kota Moskow memerintahkan pemberi kerja untuk mengirim setidaknya 30 persen staf mereka pulang, ketika beberapa negara Eropa melaporkan catatan infeksi baru.

Analis Standard Chartered mengatakan mereka sekarang memperkirakan permintaan global turun 9,03 juta barel per hari pada 2020 dan pulih 5,57 juta barel per hari pada 2021, meninggalkan rata-rata 2021 sedikit di bawah rata-rata 2016.

"Perdagangan hari ini mengirimkan beberapa getaran bearish yang kuat mengingat aksi jual di seluruh kompleks energi yang berkembang, meskipun ada peningkatan signifikan dalam selera risiko dan melemahnya dolar AS," kata Jim Ritterbusch, presiden Ritterbusch and Associates.

Peningkatan pasokan minyak dari Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) juga membebani pasar, dengan produksi pada September naik 160.000 barel per hari (bph) dari Agustus. Peningkatan tersebut sebagian besar didukung oleh kenaikan pasokan dari Libya dan Iran, keduanya dibebaskan dari pakta pasokan minyak antara OPEC dan sekutu yang dipimpin oleh Rusia, sebuah kelompok yang dikenal sebagai OPEC+.

Produksi minyak Libya telah meningkat menjadi 270.000 barel per hari karena anggota OPEC itu meningkatkan aktivitas ekspor menyusul pelonggaran blokade oleh pasukan timur, sumber minyak Libya mengatakan kepada Reuters, Kamis (1/10).

“Barel baru Libya, dan laporan bahwa Rusia telah memproduksi secara berlebihan, mengalami kenaikan di awal minggu. Laporan hari ini bahwa Arab Saudi telah meningkatkan ekspor pada September sebesar 500.000 barel per hari tampaknya menjadi yang terakhir,” kata Bob Yawger, direktur energi berjangka di Mizuho.

Anggota OPEC mengirimkan 18,2 juta barel per hari pada September, naik dari 17,53 juta barel per hari yang diekspor pada Agustus, data dari IHS Markit Commodities at Sea menunjukkan, dengan ekspor Arab Saudi kembali ke tingkat di atas 6,25 juta barel per hari.

Di awal sesi, harga mendapat jeda dari kemajuan dalam pembicaraan AS tentang paket stimulus untuk ekonomi terbesar dunia tersebut. Pemerintahan Presiden AS Donald Trump telah mengusulkan paket stimulus baru senilai lebih dari 1,5 triliun dolar AS.

Namun, Ketua DPR AS Nancy Pelosi dan Menteri Keuangan Steven Mnuchin masih jauh dari kesepakatan tentang bantuan Covid-19 di beberapa bidang penting pada Kamis (1/10/2020), setelah diskusi telepon gagal menjembatani apa yang digambarkan Pelosi sebagai perbedaan atas dolar dan nilai. Kongres Demokrat yang dipimpin oleh Pelosi telah mengusulkan paket 2,2 triliun dolar AS untuk menanggapi pandem

sumber : Antara/Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement