REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pesatnya penambahan jumlah orang terinfeksi Coronavirus Disease (Covid-19) direspons pemerintah melalui berbagai kebijakan yang membatasi ruang gerak masyarakat, seperti kebijakan physical distancing dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Keputusan pemerintah provinsi DKI Jakarta untuk kembali memberlakukan PSBB mulai 14 September 2020 perlu diikuti adanya serangkaian upaya untuk memastikan kelancaran rantai pasok, termasuk di dalamnya rantai pasok pangan, yang terhubung dengan wilayah atau provinsi di sekitarnya.
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Galuh Octania mengatakan, pandemi kali ini sudah menunjukkan adanya kerentanan pada ketahanan pangan Indonesia. Pandemi Covid-19 juga memperbesar hambatan dan risiko perdagangan pangan internasional yang pada akhirnya berdampak pada ketahanan pangan tersebut.
"Mengacu pada peringatan FAO, negara-negara perlu menjaga jalur perdagangan dan rantai pasok tetap terbuka sembari hidup di tengah langkah-langkah pengendalian yang sedang dilaksanakan. Karena itu, dengan memastikan kelancaran rantai pasok pangan harus tetap dilakukan dengan memperhatikan protokol kesehatan," kata Galuh dalam pernyataannya dikutip Republika.co.id, Jumat (18/9).
Galuh menambahkan, sebelum pandemi Covid-19 merebak di Indonesia, harga beberapa komoditas pangan sudah mengalami kenaikan. Di antaranya beras, bawang putih, bawang bombay dan gula.
Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, seperti terlambatnya rekomendasi impor dari pemerintah hingga pengurusan izin impor yang membutuhkan waktu lama. Kenaikan harga dikhawatirkan akan berlanjut apabila ada gangguan dalam kelancaran rantai pasok pangan di dalam negeri.
Gangguan dalam distribusi pangan telah dilaporkan, bahkan sebelum PSBB diberlakukan, seperti adanya keterlambatan pengiriman beras dari Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Implementasi PSBB, lanjut Galuh, memang telah diperkirakan memengaruhi logistik transportasi. Pemberlakuan Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 25/2020 yang melarang perjalanan darat, laut, dan udara dari dan ke daerah yang memberlakukan PSBB dari dan ke daerah transmisi yang tergolong zona merah antara 24 April dan 31 Mei untuk mencegah eksodus massal selama liburan Idul Fitri, tentu memengaruhi kelancaran jalannya rantai pasok.
Implementasi aturan tersebut adalah berupa pemeriksaan di pos-pos yang terletak di titik akses utama seperti jalan tol dan pelabuhan. Untuk transportasi barang, truk yang mengangkut barang-barang kebutuhan pokok, logistik, dan perbekalan kesehatan memang dikecualikan. Walaupun demikian, kata Galuh, pos pemeriksaan akan membuat kemacetan dalam distribusi pangan dan karenanya harus dikelola dengan hati-hati.
Pemeriksaan dikhawatirkan dapat mengganggu kelancaran rantai pasok pangan walaupun pangan dikecualikan dari pemeriksaan dan pembatasan. “Penerapan PSBB transisi memang sedikit banyak telah banyak membuka akses distribusi pangan secara normal. Namun dengan diterapkannya kembali PSBB secara ketat, ditakutkan akses distribusi pangan dapat kembali terganggu, utamanya dari dan ke ibukota,” cetusnya.
Galuh mengatakan, meminimalkan gangguan pada distribusi komoditas pangan antardaerah sangat penting untuk menghindari kelangkaan pada saat pandemi. Produsen utama komoditas pangan pokok seperti beras, ayam, dan gula semuanya terpusat di Jawa, lalu didistribusikan ke berbagai kota di Pulau Jawa dan kota-kota di pulau lain.
"Sinergi antar pemerintah daerah sangat penting untuk membantu kelancaran distribusi. Lebih baik lagi, jika kerjasama ini merangkul pihak swasta. Banyak di antara mereka yang memiliki jaringan yang lebih efisien," ujarnya.