REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Dana program pemulihan ekonomi nasional (PEN) belum banyak diketahui oleh masyarakat, khususnya pelaku UMKM. Untuk itu, sejumlah pakar menyarankan pemerintah untuk gencar menyosialisasikan dana program PEN yang ditempatkan di beberapa bank.
Seperti diketahui, dana program PEN tersebut berupa penyaluran kredit bukan hibah. Ekonom dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Kurniawan Saefullah mengatakan, saat ini masyarakat terutama UMKM masih bingung dengan program tersebut. Sebagian UMKM masih menganggap program tersebut merupakan hibah. Padahal, papar dia, dana PEN disalurkan berbentuk penyaluran kredit.
"Jika bentuknya penyaluran kredit bagus, apalagi bank punya sumber dana murah untuk ekspansi, bisa mendorong ekonomi pada akhirnya," ujarnya, Rabu (9/9). Oleh karena itu, pemerintah perlu secara intensif mengumpulkan stakeholder terkait, terutama di daerah bersama bank pembangunan daerah (BPD) untuk melakukan sosialisasi.
Menurut dia, edukasi kepada masyarakat akan menopang optimalisasi penyaluran kredit. Sebab, dana yang dikucurkan oleh pemerintah ke sejumlah bank cukup besar. Dia menyontohkan, edukasi tidak sekadar sosialisasi, namun juga menyeluruh berupa juklak dan juknisnya.
Seperti halnya Bank BJB yang mendapat kucuran dana PEN sebesar Rp 2,5 triliun dari pemerintah, papar dia, tentu perlu kehati-harian dalam pengelolaannya. Hal ini dilakukan agar tidak menjadi masalah di kemudian hari.
"Saya yakin jika pemerintah sudah melakukan sosialisasi ke stakeholder, maka bank penyalur seperti Bank BJB bisa berkomitmen dalam realisasinya," katanya. Bank BJB sendiri, ungkap dia, saat ini sedang fokus menggairahkan UMKM di tengah pandemi Covid-19.
Selain menempatkan uang di Bank BJB, pemerintah juga menitipkan dana PEN di antaranya di Bank Jatim Rp 2 triliun, Bank Jateng Rp 2 triliun, Bank Sulutgo Rp 1 triliun, BPD DIY Rp 1 triliun, dan BPD Bali Rp 700 miliar.
Ekonom SBM ITB Anggoro Budi Nugroho berpendapat serupa. Dia mengatakan pemerintah perlu memetakan secara spesifik penyaluran kredit dari program PEN.
"Lakukan segmentasi kondisi usaha. Petakan ulang, mereka yang punya rekaman buruk 1-3 tahun terakhir dalam pengembalian kredit macet, tentu dikecualikan," ujarnya. Menurutnya, pemerintah perlu mengutamakan UMKM yang omzetnya lancar dan return on asset (ROA) bersihnya di atas 1-2.
‘’Keutamaan sejarah lancar kredit itu nomor 1, sekalipun aset dan omzet belum besar. Karena hal ini yang menentukan disiplin pasar perbankan," katanya. Dia beralasan, berurusan dengan segmen UMKM harus siap dengan risiko trickle-down. Pemerintah juga, lanjut dia, sebaiknya berpikir konservatif dan siap dengan risiko terburuk PEN.