Selasa 08 Sep 2020 10:16 WIB

Kebijakan Terbaru The Fed Ancam Bank Sentral Lain

The Fed menargetkan inflasi lebih longgar sehingga berpengaruh pada pelemahan dolar.

Rep: Lida Puspaningtyas/ Red: Friska Yolandha
Federal Reserve (Fed) memasang target inflasi yang lebih longgar sehingga akan berpengaruh pada pelemahan mata uang dolar AS. Ini akan menjadi pertanyaan besar tentang peran bank sentral.
Foto: ANTARA/Aprillio Akbar
Federal Reserve (Fed) memasang target inflasi yang lebih longgar sehingga akan berpengaruh pada pelemahan mata uang dolar AS. Ini akan menjadi pertanyaan besar tentang peran bank sentral.

REPUBLIKA.CO.ID, FRANKFURT -- Federal Reserve (Fed) memasang target inflasi yang lebih longgar sehingga akan berpengaruh pada pelemahan mata uang dolar AS. Ini akan menjadi pertanyaan besar tentang peran bank sentral.

Perubahan kebijakan The Fed yang diluncurkan pada 27 Agustus, disebut untuk menyesuaikan pada ekonomi AS. Pergeseran target inflasi rata-rata memungkinkan Fed melampaui target ekonomi setelah mengalami penurunan.

Baca Juga

Ini menunjukkan bahwa kenaikan suku bunga akan datang kemudian dan lapangan pekerjaan akan meningkat. Ini merupakan keuntungan bagi keluarga berpenghasilan rendah.

Tapi langkah ini menimbulkan masalah bagi bank sentral lainnya secara global. Penafsiran ulang mandat The Fed seperti itu dapat dilihat sebagai upaya penurunan ke dalam kebijakan sosial, tindakan The Fed sebelumnya sudah berdampak pada kekayaan dan distribusi pendapatan.

Kekhawatiran kedua, yang lebih mendesak adalah melemahnya dolar AS, yang merugikan eksportir dari Eropa ke Asia. Hal ini pasti akan dibahas pada pertemuan kebijakan Bank Sentral Eropa pada hari Kamis mendatang.

Penguatan mata uang euro akan mempersulit negara-negara pengekspor di zona euro untuk keluar dari resesi. Negara-negara seperti Jerman dan Prancis, atau Jepang, secara tradisional menghasilkan pertumbuhan dari ekspor bersih, yang akan terpukul ketika mata uang mereka menguat.

Dan penguatan ini hanya menambah masalah mereka karena perang perdagangan antara Amerika Serikat dan beberapa mitra dagang utamanya telah membebani ekspor.

Dolar AS telah melemah lebih dari 10 persen terhadap sejumlah mata uang sejak pertengahan Maret ke level terendah lebih dari dua tahun. Kepala ekonom ECB Philip Lane memperingatkan bahwa nilai tukar penting, bahkan jika ECB tidak menargetkannya.

"Jika ada kekuatan yang menggerakkan kurs euro terhadap dolar, itu masuk ke dalam prakiraan global dan Eropa kami dan pengaturan kebijakan moneter kami," kata Lane dilansir Reuters, Senin (7/9).

Beberapa ekonom mengatakan bahwa nilai tukar saat ini sudah dapat mengurangi 0,2 persen sampai 0,4 persen dari pertumbuhan zona euro. Analis yang disurvei oleh Reuters melihat lebih banyak kelemahan dolar AS. Biasanya ini tidak akan terlalu sulit untuk dilawan, tetapi ECB dan Bank Jepang keduanya mendekati batas kebijakan.

Keduanya memiliki tingkat pemotongan ke wilayah negatif dan imbal hasil sudah negatif untuk sebagian besar kurva. Kedua bank juga menghadapi beberapa oposisi domestik untuk pelonggaran lebih lanjut, yang membuat langkah-langkah politik lebih rumit.

"Jika Fed akan terlambat menaikkan suku bunga, itu akan memberikan tekanan pada yen terhadap dolar," kata Hideo Kumano, mantan pejabat BOJ yang saat ini menjabat sebagai kepala ekonom di Dai-ichi Life Research Institute.

Selama kebijakan Fed mempersulit kenaikan dolar, BOJ harus khawatir tentang potensi kenaikan yen yang membutuhkan respons kebijakan termasuk pendalaman suku bunga negatif. Beberapa ekonom berpendapat bahwa ECB seharusnya bergeser ke target yang sama fleksibelnya sebagai bagian dari tinjauan kebijakannya sendiri yang sedang berlangsung.

Tetapi harga pasar tidak ada kenaikan suku bunga sama sekali selama masa delapan tahun. Jadi saran bahwa pengetatan kebijakan akan lebih jauh didorong menimbulkan masalah kredibilitas.

"Ekonomi pasar berkembang, yang sebagian besar didanai dolar, akan mendapat keuntungan, setidaknya pada awalnya," kata mantan anggota dewan ECB Benoit Coeure. Ia menilai Eropa mungkin perlu menemukan cara baru untuk mendukung ekonominya dalam menghadapi tarif AS yang lebih rendah secara permanen.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement