REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nilai tukar (kurs) rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada Jumat (28/8) berpotensi tertekan seiring sinyal dovish atau pelonggaran kebijakan moneter oleh bank sentral AS The Fed. Pada pukul 9.43 WIB, rupiah melemah 32 poin atau 0,21 persen menjadi Rp 14.692 per dolar AS dari sebelumnya Rp14.660 per dolar AS.
Kepala Riset dan Edukasi Monex Investindo Futures Ariston Tjendra di Jakarta, Jumat (28/8), mengatakan, semalam pidato Gubernur The Fed Jerome Powell di pertemuan para pejabat bank sentral dunia Jackson Hole secara virtual memberikan gambaran yang dovish atau pesimis mengenai kondisi ekonomi AS dan ingin mendorong inflasi AS melebihi target inflasi saat ini di atas 2 persen.
"Ini memberi indikasi bahwa The Fed akan mengeluarkan kebijakan pelonggaran moneter yang mungkin lebih agresif untuk membantu memulihkan ekonomi AS. Sikap ini mendukung pelemahan nilai tukar dolar AS," ujar Ariston.
Tapi di sisi lain, lanjut Ariston, pernyataannya ditangkap oleh pelaku pasar bahwa inflasi di AS ke depan akan lebih tinggi dari saat ini. "Inflasi yang naik biasanya mendorong penguatan nilai tukarnya sehingga semalam dollar AS menguat terhadap nilai tukar lainnya," katanya.
Ia menuturkan, secara keseluruhan sikap The Fed tersebut akan memberikan sentimen positif ke depan untuk aset berisiko karena memberikan stimulus ke pasar untuk mendorong kenaikan inflasi dan membantu pemulihan ekonomi di AS.
"Tapi reaksi pasar semalam dengan penguatan dolar AS mungkin akan terbawa ke pasar Asia pagi ini yang bisa memberikan tekanan ke nilai tukar emerging market," ujar Ariston.
Menurut Ariston, rupiah mungkin bisa tertekan di awal perdagangan terhadap dolar AS dan bisa saja menguat di akhir perdagangan dengan sentimen di atas. Ariston memperkirakan rupiah berpotensi melemah di kisaran Rp14.550 per dolar AS hingga Rp14.750 per dolar AS.
Pada Kamis (27/8) lalu, rupiah ditutup menguat 18 poin atau 0,12 persen menjadi Rp14.660 per dolar AS dari sebelumnya Rp14.678 per dolar AS.