REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom senior Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Aviliani menilai, resesi yang dialami ekonomi Korea Selatan tidak akan berdampak negatif terhadap Indonesia. Justru, situasi tersebut berpotensi menguntungkan, terutama dari sisi investasi.
Saat ini, Aviliani menyebutkan, tren perpindahan lokasi investasi dari Korea Selatan ke Indonesia sudah terlihat, seperti pada sektor perbankan. Ini menunjukkan, potensi Indonesia masih bagus.
"Nantinya, kita malah bisa diuntungkan dengan dia (Korea Selatan) resesi, banyak investasi Korea yang masuk ke Indonesia," katanya dalam acara webinar Kajian Tengah Tahun Indef, Kamis (23/7).
Aviliani menuturkan, keuntungan ini tidak hanya akan dirasakan ketika Korea Selatan resesi. Negara-negara lain yang berpotensi maupun sudah mengalami resesi bisa menjadi sumber keuntungan bagi Indonesia. Khususnya jika pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal ketiga masih positif.
Tapi, Aviliani optimistis, daya tarik Indonesia tetap terjaga meskipun resesi terjadi pada kuartal kedua dan ketiga. Menurutnya, negara lain akan melihat resesi teknis Indonesia sebagai dampak dari belanja pemerintah yang belum maksimal untuk mendorong daya beli masyarakat.
Di sisi lain, populasi masyarakat Indonesia yang luas menambah kekuatan Indonesia sebagai negara untuk berinvestasi. "Setelah pandemi ini, pasar kita masih bagus," tuturnya.
Ekonomi Korea Selatan dipastikan mengalami resesi teknis pada kuartal kedua. Ini menjadi resesi pertama kalinya yang dialami Negeri Gingseng sejak 2003, seiring kebijakan pembatasan kesehatan akibat pandemi Covid-19 yang menghambat aktivitas ekonomi dan menekan permintaan global.
Bank sentral Korea Selatan menyebutkan, Kamis (23/7), Produk Domestik Bruto (PDB) mengalami penurunan sebesar 3,3 persen yang disesuaikan secara musiman pada kuartal April hingga Juni, setelah menyusut 1,3 persen pada kuartal pertama. Realisasi ini jauh lebih buruk dibandingkan proyeksi dalam jajak pendapat Reuters, yaitu 2,3 persen.
Seperti dilansir Reuters, Kamis, kinerja ekspor barang dan jasa dari ekonomi yang bergantung pada perdagangan ini anjlok 16,6 persen, menjadi angka terburuk sejak kuartal terakhir 1963. Ini hampir 40 persen dari nominal Produk Domestik Bruto (PDB) negara pada tahun lalu.