Senin 20 Jul 2020 15:47 WIB

Pahala Belajar Memanah

Mengajarkan memanah dengan anak panah kepada anak-anak hukumnya sunah muakadah.

Arena Memanah Pengunjung mencoba memanah di ara khusus memanah dalam pameran Islamic Book Fair (IBF) di Istora Senayan Jakarta, Selasa (1/3).
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Arena Memanah Pengunjung mencoba memanah di ara khusus memanah dalam pameran Islamic Book Fair (IBF) di Istora Senayan Jakarta, Selasa (1/3).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Dr KH Syamsul Yakin MA

 

Belajar dan mengajarkan keterampilan memanah mendapat legitimasi dari Nabi SAW. Beliau bersabda, “Ajarkanlah anak-anakmu memanah, karena sesungguhnya memanah itu dapat menghancurkan musuh.” (HR. Dailami). Kendati makna memanah untuk konteks saat ini dapat ditafsirkan kembali, tapi setidaknya memanah jadi bekal personal mempertahankan diri.

Dikatakan oleh Nabi SAW, “Barangsiapa yang melepaskan anak panah di jalan Allah, maka ia seperti orang yang membebaskan budak.” (HR. Ahmad). Menurut Syakh Nawawi Banten dalam Tanqih al-Qaul al-Hatsits, hadits ini maksudnya melepaskan panah dalam berjuang melawan orang-orang kafir untuk menegakkan agama Allah SWT.

Tak hanya itu, memiliki keterampilan memanah mendapat surga setingkat lebih tinggi. Nabi SAW menjanjikan, “Barangsiapa yang melepaskan anak panah dengan tepat sasaran, maka ia mendapat satu derajat lebih tinggi di surga.” (HR. Hakim). Dalam peperangan, pasukan pemanah terdiri dari tentara pilihan yang sangat diandalkan untuk menjatuhkan mental musuh.

Begitu juga dalam sejumlah peperangan yang dipimpin oleh Nabi SAW di dalam kota Madinah atau di luar kota itu, sangat mengandalkan pasukan pemanah. Uqbah bin Amir berkata, “Aku mendengar Rasulullah SAW saat berada di atas mimbar bersabda, “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi.” (QS. al-Anfal/8: 60). 

Ingatlah, sesungguhnya kekuatan itu adalah memanah. Ingatlah, sesungguhnya kekuatan itu adalah memanah. Ingatlah, sesungguhnya kekuatan itu adalah memanah.” (HR. Muslim). Tiga kali Nabi SAW mengulang kalimat ini. Tentu dapat dipahami maknanya. Dengan tafsir apapun dan pada masa kapan saja, kemampuan memanah ini sangat penting dikuasai.  

Bagi seorang penulis, pena dan tinta adalah senjata pengganti busur dan anak panah. Ia berusaha “memanah” secara akurat informasi penting yang harus diketahui oleh kaum muslimin. Penulis dalam konteks ini bisa wartawan, ulama, dan cendekiawan muslim yang konsisten melahirkan berita dan karya yang dapat dibaca untuk memperkaya pengetahuan.

Beragam profesi dan keterampilan haruslah dapat “melepaskan anak panah” secara cepat dan akurat. Semua itu didedikasikan untuk mempertahankan diri dari desakan ekonomi, sosial, budaya dan politik.

Harus disadari kendati kita berjuang dari lini yang berbeda-beda, tapi untuk cita-cita yang sama. Yakni,  bagi kesejahteraan kaum muslim dan masyarakat dunia.Untuk itu, mari kita belajar memanah, mengajarkannya, dan mempertahankan keterampilan memanah.

Nabi SAW katakan dalam sebuah hadits yang dikutip oleh Imam Jalaluddin al-Suyuthi dalam Lubab al-Hadits , “Barangsiapa yang meninggalkan memanah setelah belajar, maka sungguh ia telah meninggalkan kesunahan dari sunahku”.

Orang yang telah belajar memanah kemudian tidak menyukai lagi sunah Nabi SAW tersebut, terancam sebagai bukan bagian dari kaum muslim. Nabi SAW memperingatkan, “Barangsiapa yang telah belajar memanah, kemudian meninggalkannya, maka ia bukanlah termasuk golongan kami.” (HR. Muslim). Artinya, ia tidak lagi mengamalkan sunah Nabi SAW.

Terakhir, mengajarkan memanah dengan anak panah kepada anak-anak hukumnya, tulis Syaikh Nawawi Banten, sunah muakadah (sunah yang sangat ditandaskan) ketimbang mengajarkan keterampilan memainkan pedang. Tentu terdapat rahasia besar dalam keterampilan memanah. Oleh karena itu, kalau belum mahir memanah mari kita  belajar bersama-sama.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement