REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memproyeksikan penerimaan perpajakan sepanjang 2020 terkontraksi 9,2 persen dibandingkan realisasi tahun lalu yang sebesar Rp 1.545,3 triliun. Angka kontraksi kemungkinan bisa lebih dalam seiring perlambatan ekonomi akibat Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Febrio Kacaribu menjelaskan, ini merupakan penurunan outlook kedua yang dilakukan pemerintah. Sebelumnya, melalui Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian APBN 2020, pemerintah memproyeksikan penerimaan perpajakan tahun ini akan minus 5,4 persen.
"Memang belum pernah kita alami tekanan sedalam ini atas penerimaan perpajakan. Bulan-bulan ke depan akan masih kami lihat seperti apa," tutur Febrio dalam Pembicaraan Pendahuluan RAPBN dan RKP Tahun 2021 dengan Badan Anggaran DPR, kemarin.
Febrio menyebutkan, proyeksi ini menggambarkan perekonomian yang sedang tidak sehat hingga menyebabkan dunia usaha kesulitan. Banyak di antara mereka harus menghentikan usaha dan berdampak pada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) ataupun kebijakan merumahkan karyawan.
Di satu sisi, pemerintah menyiapkan insentif di tengah kesulitan tersebut. Febrio memberikan contoh, pengurangan angsuran Pajak Penghasilan (PPh) 25, pembebasan PPh 22 impor, relaksasi restitusi hingga fasilitas bea masuk yang ditanggung pemerintah. Selain itu, percepatan penurunan tarif PPh badan dari 25 persen ke 22 persen yang seharusnya dilakukan pada tahun depan.
Dengan kondisi ini, Febrio menggambarkan penurunan perpajakan tahun ini berasal dari dua arah. Satu sisi ekonomi melemah sangat tajam, sedangkan sisi lainnya, pemerintah ingin membantu sektor usaha melalui insentif.
"Kalau kita berada di minus 9,2 persen untuk outlook 2020, itu harapannya mencerminkan kondisi sekarang dan juga kondisi di mana pemerintah berusaha untuk hadir," kata Febrio.