REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di tengah melemahnya ekonomi nasional akibat wabah pandemi virus corona, kinerja sektor pertanian justru terlihat cemerlang sehingga menjadi satu-satunya sektor yang menyelamatkan ekonomi nasional. Hal ini berdasarkan data BPS, bahwa ekspor pertanian tetap memperlihatkan kinerja yang baik yakni ekspor pertanian April 2020 sebesar 0,28 miliar dolar AS atau tumbuh 12,66 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2019 (YoY).
Berdasarkan sektornya, hanya sektor pertanian saja yang mengalami kenaikan ekspor secara Year of Year (YoY). Selanjutnya BPS pun merilis data inflasi Mei 2020 berada pada pada posisi rendah angka 0,07 persen karena berbagai faktor, salah satunya atas dukungan ketersediaan pangan pada Hari Raya Idul Fitri.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto dalam keterangan persnya menjelaskan bahwa pada periode Januari-April 2020, ekspor non migas Indonesia didominasi oleh eskpor lemak dan minyak hewan atau nabati sebesar 6,25 miliar dolar AS atau 12,24 persen.
"Ini merupakan signal positif dan menjadi angin segar dimana pertanian dan olahannya memperlihatkan pertumbuhan yang positif," ujar Suhariyanto, Selasa kemarin di Jakarta Selasa (2/6).
Suhariyanto menegaskan sektor pertanian memiliki peran yang cukup besar terhadap kinerja ekspor nasional. Selain itu, upah nominal buruh tani juga mengalami kenaikan. Tercatat secara Month on Month (MoM) upah nominal pada April 2020 naik sebesar 0,12 persen dari bulan sebelumnya 55,254 menjadi 55,318.
"Namun untuk upah rill cenderung stabil dikisaran 52,214 dan tidak terjadi perubahan yang signifikan," jelasnya.
Inflasi Mei 2020 rendah
Lebih lanjut Suhariyanto membeberkan inflasi pada Mei 2020 berada pada posisi rendah yakni angka 0,07 persen karena berbagai faktor. Beberapa diantaranya yaitu kesiapan pemerintah dalam mengantisipasi permintaan pangan untuk Hari Raya Idul Fitri.
“Salah satu faktornya pemerintah sudah bersiap siap jauh jauh hari sehingga pasokan pangan pada Mei ini relatif terjaga,” bebernya.
Inflasi rendah, menurut Kecuk juga terjadi karna dampak dari pandemi virus corona (Covid-19) yang menyebabkan adanya penurunan permintaan. Selain itu, dikatakan Suhariyanto, adanya kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) juga turut mempengaruhi aktifitas ekonomi termasuk permintaan akan barang. PSBB mempengaruhi tingkat pendapatan masyarakat. Sehingga aktivitas belanja masyarakat ikut menurun.
“Ini yang menyebabkan banyak terjadi penurunan permintaan pada bulan Mei di satu sisi dari sisi suplay banyak terjadi perlambatan produksi karena PSBB ahan baku dan memlemahnya permintaan,” ucapnya.
Guru Besar Ilmu Ekonomi Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof Muhammad Firdaus juga menegaskan bahwa kondisi ketersediaan pangan pokok nasional secara kumulatif mencukupi meskipun sebarannya belum merata.
Ia juga menegaskan bahwa masing-masing wilayah punya keunggulan dan kapasitas produksi. Yang terpenting, katanya, ketersediaan secara agregat nasional harus mencukupi. Menurutnya, sistem distribusi perlu ditata. Tujuannya adalah mengurangi disparitas harga antarwilayah.
Sebelumnya, Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo menjamin ketersediaan pangan khususnya 11 komoditas pangan dasar harganya stabil dan stoknya pun aman. Berbagai terobosan telah disiapkan untuk menjamim stok dan kelancaran distribusi pangan ke masyarakat.
"Makanya saya masih harus turun untuk memberikan dukungan agar petani makin kuat menjaga alur-alur ketersediaan pangan," tegas Syahrul.
Syahrul menyebutkan menghadapi puasa dan menjelang lebaran selama pandemi, Kementan melakukan upaya untuk menjamin ketersediaan bahan pangan dengan hadirnya Toko Mitra Tani di setiap provinsi. Kemudian menggandeng layanan transportasi berbasis online serta marketplace dan sejumlah startup bidang pertanian.
"Kami pun aktif melakukan operasi pasar dan distribusi bahan pangan dari daerah yang surplus ke daerah yang mengalami keterbatasan," tuturnya.
Di masa pandemi virus corona pun sektor pertanian juga mampu meningkatkan daya beli petani. BPS mencatatkan Nilai Tukar Pertani (NTP) pada subsektor peternakan mengalami kenaikan sebesar 0,27 persen atau 96,66 pada bulan Mei 2020. Padahal sebelumnya, NTP subsektor peternakan tercatat hanya 96,40.
Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, selain subsektor peternakan, kenaikan juga terjadi pada subsektor perikanan yang naik sebesar 0,41 atau dari 98,70 menjadi 99,11.
"Dua subsektor tersebut menjadi pembeda dimana beberapa subsektor lainnya mengalami penurunan," kata Suhariyanto.
Meski demikian, Suhariyanto menjelaskan ada tiga subsektor pertanian yang mengalami penurunan. Ketiga subsektor itu adalah subsektor tanama pangan sebesar 0,54 persen, subsektor hortikultura sebesar 0,58 persen, dan subsektor tanaman perkebunan rakyat sebesar 2,30 persen.
Namun, Suhariyanto menjelaskan penyebab penurunan NTP pada tiga subsektor tersebut dikarenakan terjadi penurunan harga di beberapa komoditas.
"Misalnya pada subsektor tanaman perkebunan rakyat, disebabkan karena harga karet dan minyak sawit merah atau Crude Palm Oil (CPO) juga mengalami penurunan," terangnya.
Oleh karena itu, dengan adanya penurunan harga komoditas, membuat NTP Nasional pada bulan Mei 2020 turun 0,85 dibanding NTP bulan lalu. Secara keseluruhan, NTP di bulan ini berada dibawah 100.
"Karena adanya penurunan harga komoditas, NTP bulan ini dibawah 100," tandasnya.
Sebagai informasi, NTP merupakan salah satu indikator untuk melihat tingkat kemampuan atau daya beli petani di pedesaan. NTP juga menunjukan daya tukar (term of trade) dari produk pertanian dengan barang dan jasa yang dikonsumsi maupun untuk biaya produksi.