Saat Gojek melakukan rebranding logonya pada Juli 2019, ada pemandangan menarik di antara para mitra bisnis Gojek. Yaitu, hadirnya Zulu yang turut andil dalam mengembangkan teknologi Radio Frequency Identification (RFID) pada inventori barang-barang Gojek, seperti jaket, helm, serta menyusul tas GoFood dan boks GoSend. Ya, sejak Agustus 2018 Zulu memang salah satu mitra bisnis Gojek yang telah mendapatkan pendanaan dari Gojek.
Zulu merupakan perusahaan rintisan yang berdiri pada 2015. Nama Zulu dipilih karena waktu kuliah di Kanada, Nathan Roestandy, pendiri & CEO Zulu, hobi mengunjungi record store yang namanya Zulu Records. Nathan pun akhirnya menamakan bisnisnya Zulu. “Lini bisnis Zulu saat ini adalah B2C dan B2B. B2C, yaitu menjual helm di pasar ritel dan B2B-nya memproduksi helm dan jaket untuk Gojek,” kata Yusuf Syaid, co-founder & Chief Technology Officer Zulu.
Menurut Yusuf, segmen pasar Zulu adalah menengah-bawah tetapi berkualitas premium. Harga helmnya berkisar Rp 400 ribu- 800 ribu. Saat ini, Zulu menjual produknya di e-commerce seperti Lazada. Helm Zulu pun sudah masuk ke Malaysia dan sekarang pihaknya sedang bernegosiasi dengan mitranya di Korea Selatan.
“Negara-negara tersebut yang mendatangi kami langsung karena tertarik dengan helm Zulu. Setelah diperhatikan, ternyata mereka tertarik dengan desain retro, teknologi bluetooth, namun dengan harga terjangkau,” katanya. Meski demikian, sebelum berekspansi, pihaknya harus memenuhi sertifikasi safety dari department of transportation (DOT) di negara-negara tersebut. Selain helm, Zulu juga memproduksi masker, kacamata, dan sarung tangan.
Yusuf melihat industri helm masih kurang dalam segi inovasi. Umumnya mereka hanya menjual helm dengan warna dan model yang berbeda. Padahal, di luar negeri sudah banyak dijual helm yang memiliki bluetooth, speaker, dan smart technology lainnya.
Baginya, menggabungkan helm dan teknologi menjadi sebuah keharusan. Di Amerika Serikat, konsumen bisa membeli helm yang punya air conditioner, bluetooth, dan smart technology lainnya. “Tapi harganya terlalu tinggi untuk Indonesia. Di Amerika harganya Rp 3,5 juta. Kami hanya menjual sekitar Rp 700 ribu,” ungkap lulusan Computer Systems Engineering dari Curtin University Australia ini.
Bagaimana cara Zulu menerapkan teknologi tersebut dengan harga lebih rendah? “Ada berbagai macam aspek yang saya kembangkan,” ujar Yusuf. Bisa dari material, proses R&D, teknologi, desain, dll. “Kadang-kadang kita tidak perlu melihat sesuatu hal yang benar-benar baru. Kita gunakan saja sesuatu yang sudah ada lalu kita kembangkan. Akan selalu ada orang-orang yang lebih pintar daripada kita. Tapi kalau kita pintar dan mengimplementasikan kepintaran itu sekarang, kita akan satu langkah di depan dan sudah memiliki inovasi selanjutnya,” katanya panjang lebar.
Lalu, bagaimana ceritanya Zulu bisa menjadi mitra Gojek? Menurut Yusuf, setelah menjajaki B2C, Zulu membuka kesempatan lebih luas lagi untuk menggarap segmen kendaraan roda dua. Kerjasama ini diwujudkan Zulu dengan menjadi mitra Gojek dalam proses rebranding logonya, Juli 2019.
Dalam rebranding Gojek tersebut, Zulu terlibat untuk mendesain jaket. “Kami mendesain dua jaket untuk Gojek. Garuda Super adalah jaket waterproof dan Garuda adalah jaket yang tidak waterproof,” ungkap Yusuf yang pernah bekerja di Australia lebih dari 17 tahun, di industri ritel, medis, perdagangan, industri, hingga angkatan laut.
Gojek dulu punya satu masalah dengan inventorinya. Helm atau jaket selalu ada yang hilang (missing stock). “Itu membuat saya berpikir, bagaimana menjaga inventori barang-barang tersebut. Dari situ saya melihat ada kesempatan memasukkan teknologi yang telah saya pelajari dan terapkan dalam pekerjaan saya, yaitu RFID,” kata Yusuf yang pernah tinggal di Australia ini.
RFID di Indonesia belum populer dan belum digunakan banyak perusahaan. Di Indonesia, yang sudah menggunakan teknologi RFID adalah Uniqlo dan Decathlon Sports Store. Dengan RFID, barang-barang memiliki serial number yang otomatis bisa di-scan dan terkoneksi dalam database komputer. Jadi, tidak perlu sistem inventori dengan barcode scanner. Zulu mengubah sistem inventori Gojek dari analog ke digital. Setiap helm dan jaket Gojek memiliki nomor serinya. Tas GoFood dan boks GoSend akan memiliki nomor serinya. Fungsi nomor seri ini bukan untuk tracking pengemudi, melainkan hanya untuk membantu inventori.
Yusuf menceritakan, saat melakukan rebranding tahun lalu, Gojek mengganti desain helm dan jaketnya, memproduksinya lagi, dan mendistribusikan ke sekitar satu juta pengemudi (mitra) Gojek dalam kurun enam bulan. Dalam enam bulan tersebut, harus ada 1,2 juta jaket dan satu juta helm yang terdistribusi. Jadi, setiap hari harus ada 12 ribu helm dan 8 ribu jaket yang harus didistribusikan ke mitranya.
Dengan demikian, kalau pencatatannya secara manual, prosesnya bisa berhari-hari. “Bayangkan, mereka harus menghitung dan mencatat manual, lalu memasukkan ke sistem inventori secara manual juga,” ujar Yusuf. Contohnya, dulu Gojek untuk mengecek dan mendata satu kardus berisi 50 buah helm atau jaket bisa memakan waktu 15 menit. Dengan RFID, itu bisa dilakukan hanya dalam waktu tiga detik. Chip RFID dimasukkan ke dalam helm dan jaket, semuanya tinggal scan, sehingga prosesnya lebih cepat. Setelah sistem inventori dilakukan secara digital, produk bisa dengan cepat didistribusikan ke pengemudi.
Untuk memenuhi target memproduksi helm dan jaket Gojek saat itu, Zulu juga harus mencari pabrik yang bisa memproduksi secara massal dan cepat. Di beberapa bulan pertama, ada 5-8 pabrik yang memproduksinya. Namun, sekarang mulai berkurang karena beban yang harus diproduksi sudah berkurang. Tersisa 40 ribu helm yang sedang dalam proses saat ini.
Saat ini, Zulu juga dalam proses mendesain helm Gojek yang dilengkapi fitur smart. Fitur smart ini mencakup bluetooth dan speaker seperti pada helm Zulu lainnya yang sudah dijual secara B2C (ritel).
“Namun, saya belum bisa memberitahukan semuanya karena masih dalam proses. Tapi intinya, helm ini bertujuan membuat mitra driver tidak harus melihat ke handphone ketika berkendara,” ungkap Yusuf yang pernah membuat sistem antivirus yang hingga sekarang dipakai untuk seluruh angkatan laut di Australia ini. (*)
Dede Suryadi dan Andi Hana Mufidah Elmirasari; Riset: Ayusha Laksmi