REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Antraknosa merupakan salah satu Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) utama yang menyerang cabai di Indonesia. Penyakit ini disebabkan oleh cendawan Colletotrichum capsici.
Pertumbuhan cendawan tersebut distimulir oleh kondisi lembab serta suhu relatif tinggi. Penyakit ini selain mengakibatkan penurunan hasil juga dapat merusak nilai estetika cabai.
Janu Riyanto, petani di Kabupaten Sleman, Yogyakarta berbagi tips untuk mengatasi OPT ini. Dia menggunakan pestisida nabati sebagai solusinya mengendalikan Antraknosa.
"Bahan pestisida nabati yang digunakan adalah bawang putih 5 siung, air kelapa 1 buah, putih telor 2 butir dan tetes tebu 50 ml," ujar dia saat dihubungi, Rabu (20/5) lalu, dalam siaran pers.
Cara membuatnya sederhana. Bawang putih ditumbuk halus, kemudian dicampurkan dengan bahan lain, dan setelah itu disaring sebelum diaplikasikan. Cara penggunaannya, hasil saringan tadi dicampurkan ke dalam air sebanyak 1 tangki (16 liter) dengan dosis 200 mililiter, kemudian semprotkan pada tanaman cabai pada pagi hari.
"Penggunaan pestisida nabati di ulangi setiap 10 hari sekali, untuk lebih efektif dapat disemprotkan pada saat cabai berumur 50 hari sampai selesai panen," beber dia.
Sebagai informasi, penyakit Antraknosa ini menyerang buah cabai yang masih muda, antara lain melalui luka akibat lalat buah. Gejala serangannya berupa noda lekukan berwarna hitam kelam pada buah cabai, dan dapat pula pada batang serta ranting-rantingnya.
Pada serangan yang berat dapat merusak tanaman cabai dan buahnya sehingga tidak dapat panen. Penyakit ini dapat ditularkan melalui benih (biji) yang ditanam (seed borne). Biji cabai yang terserang penyakit ini biasanya berkerut dan berwarna kehitaman-hitaman.
Direktur Perlindungan Hortikultura Kementan, Sri Wijayanti Yusuf, mengatakan pestisida nabati merupakan salah satu bahan pengendali OPT ramah lingkungan yang dapat digunakan untuk mengendalikan Antraknosa.
Berdasarkan Hasil penelitian yang dilakukan oleh Istifadah, et al. (2017), diantara ekstrak air bahan yang diuji, ekstrak bawang putih menghasilkan zona penghambatan yang lebih baik dibandingkan dengan ekstrak lengkuas, ekstrak sirih, dan campurannya.
"Diduga karena senyawa yang terkandung dalam umbi bawang putih lebih toksik terhadap Colletotrichum spp. Selain itu, senyawa dalam ekstrak air bawang putih tersebut dapat terdifusi dalam medium lebih baik daripada bahan yang lain sehingga jangkauan untuk menghambat pertumbuhan miselium patogen juga lebih besar," ungkap Sri.
Dia menyatakan bahwa dalam budidaya ramah lingkungan petani harus sudah mengurangi pemakaian pestisida kimia sintentik, dan mulai menggunakan bahan pengendali ramah lingkungan.
Hal ini sejalan dengan program Direktorat Jenderal Hortikultura yaitu Gerakan Mendorong Peningkatan Produksi, Daya Saing dan Ramah Lingkungan yang dikenal dengan tagline Gedor Horti.
"Tentunya kita harapkan produksi yang dihasilkan aman konsumsi dan bebas dari residu pestisida. Ini sebagaimana arahan Bapak Menteri Pertanian (Syahrul Yasin Limpo)," pungkasnya.