REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebut industri perbankan syariah juga mengalami tekanan akibat Covid-19. Ketua OJK, Wimboh Santoso menyampaikan industri keuangan syariah tak terkecuali dari penurunan performa.
"Covid-19 ini juga sama saja berdampak signifikan pada perbankan syariah," katanya saat telekonferens dengan Republika.co.id, Senin (11/5).
Wimboh menyampaikan, performa yang terancam karena Covid-19 adalah rasio pembiayaan bermasalah dan likuiditas. Sehingga OJK telah mengeluarkan kebijakan restrukturisasi yang dapat meringankan beban bank.
Wimboh mengatakan, ketika pembiayaan nasabah yang terdampak Covid-19 direstrukturisasi, maka bank tidak perlu membentuk pencadangan. Dengan demikian, bank terhindar dari risiko penurunan pendapatan atau kenaikan NPL.
Data terbaru hingga 10 Mei 2020, menunjukkan restrukturisasi sudah dilakukan kepada sebanyak 3,88 juta debitur dengan nilai total sebesar Rp 336,97 triliun. Sebagian besar diberikan kepada debitur UMKM sebanyak 3,42 juta debitur dengan nilai Rp 16,7 triliun.
Wimboh menyampaikan, OJK terus memantau segala perkembangan dan kebutuhan perbankan termasuk bank syariah. OJK bersiap dengan kebijakan yang dapat meringankan industri. OJK sudah mengeluarkan POJK no. 11 tahun 2020 dan POJK no 18 tahun 2020 yang memungkinkan untuk merger bank-bank dengan penurunan performa.
"Hingga saat ini kami tidak ada intensi untuk menggunakannya (POJK 18)," kata dia.
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 18/POJK.03/2020 tentang Perintah Tertulis untuk Penanganan Permasalahan Bank ini, katanya, hanya akan dikenakan pada bank yang sebelum Covid-19 tidak memiliki masalah. Dan hingga sekarang belum ada bank yang sedang dalam pembahasan untuk masuk kriteria.